banner 468x60

LITERASI PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENJALANI KEGIATAN PEMBELAJARAN DIMASA PANDEMI COVID-19

 Kampus
banner 468x60
LITERASI PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENJALANI KEGIATAN PEMBELAJARAN DIMASA PANDEMI COVID-19

 

Oleh Miftahul Khair

Mahasiswa Magister (S2) IAIN Batusangkar

 National Institute for Literasi memberikan pemahaman bahwa literasi adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat.

Jenis literasi di antaranya literasi dasar, literasi media, literasi visual, literasi perpustakaan, dan literasi teknologi.

  1. Literasi Dasar

Perkembangan pada abad 21 tidak dapat dihindari. Anak-anak yang lahir pada abad ini dapat dikatakan generasi platinum.Artinya anak-anak yang lahir pada masa sekarang ini. Literasi dasar merupakan kemampuan dasar membaca, menulis, berhitung, dan mendengarkan. Kemampuan baca tulis merupakan  literasi dasar yang harus  dimiliki oleh setiap anak saat ini. Miris kita rasanya jika melihat mash ada anak usia sekolah belum melek huruf dan tidak memilki keterampilan dalam membaca dan menulis. Sedangkan literasi atau kemampuan numerasi merupakan  kemampuan yang dapat diberikan sejalan dengan kegiatan literasi baca tulis. Sambil mengenalkan abjad, anak-anak juga bisa dikenalkan angka.Intinya literasi numerisasi dapat dimanfaatkan di semua disiplin ilmu.

Menurut survey kelas dunia masyarakat Indonesia tidak terlalu suka membaca buku.Dari 70 negara yang disurvei Indonesia berada pada posisi 62.Artinya minat membaca anak-anak Indonesia berada dalam level terendah, Survei ini dilakukan oleh Program for International Student Assesment (PISA) dan dirilis Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada tahun 2015. Pada tahun 2018 dilakukan penelitian yang sama dengan melakukan survai secara acak terhadap anak usia 15 tahun dan dengan 78 negara oleh PISA, Indonesia menempati posisi 72. Jika merujuk dari table yang dirilis oleh http://www.oecd.org nampak daya baca anak Indonesia tergolong rendah yaitu 371 (tigaratus tujuhpuluh satu) jika dibandingkan dengan kemampuan matematika 379 (tgaratus tujuhpuluh sembilan) dan sains 396 (tigaratus Sembilanpuluh enam).

Dari data yang ada Indonesia menempati level terrendah dari Negara-negara yang memiliki kultur yang sama seperti Malaysia dan Singapur. Dengan hasil yang kurang memuaskan tentu permasalahan dapat kita petakan berdasarkan beberapa faktor, antara lain : (a) factor akses memperoleh buku yang masih sulit, (b) buku-buku yang tersedia dianggap kurang menarik untuk dibaca anak, dan (c) dukungan pemerintah terhadap gerakan literasi sekolah belum diklakukan secara total.

(a) Faktor akses memperoleh buku yang masih sulit, factor ini merupakan factor yang mendasar dalam hal ini masih dapat ditemukan dibebagai daerah yang tergolong 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) pada daerah ini  anak-anak sulit untuk memperoleh buku bacaan. Fasilitas e-book yang disiapkan pada beberapa media online terkadang terkendala dengan jaringan dan perangkat yang kurang mendukung.Anak-anak di daerah 3T sangat memiliki keterbatasan sehingga untuk dapat memperoleh buku bacaan tidak jarang menunggu para relawan yang berkunjung ke daerah tersebut.Tidak menutup kemungkinan daerah yang dianggap aju pun masih memiliki kendala dalam memperoleh buku bacaan. Keterbatasan sekolah dalam menyediakan buku atau  bahan bacaan menjadi alasan yang mendasar. Seperti tidak terdapat petugas perpustakaan atau pustakawan di sekolah sehingga buku hanya dibiarkan tergeletak tanpa pernah dijamah bahkan menjadi tumpukan sampah belaka.

(b) Buku-buku yang tersedia dianggap kurang menarik untuk dibaca anak, buku-buku yang tersedia terkadakng kurang variatif bahkan cenderung membosankan. Anak terlalu jenuh jika hanya membaca dongeng-dongeng yang bersifat mitos atau mite sebab anak jaman sekarang cenderung ingin mencari kebenaran bukan beragam tafsir yang belum tentu benar.Yang lebih menyedihkan yaitu buku-buku buatan Indonesia dianggap jelek sehingga cenderung mencari buku-buku cerita dari luar negeri yang sudah diterjemahkan, sebab dipandang lebih kreatif.

(c) Dukungan pemerintah dalam mensukseskan Gerakan Literasi Sekolah dipangang belum total.Peran pemerintah dalam memfasilitasi kecenderungan anak untuk mau membaca buku bisa saja karena pemerintah daerah kurang merespond.Sehingga kebijaksanaan ditingkat bawah menjadi pemicu kurangnya budaya baca dikalangan sendiri. Untuk membangun budaya literasi bangsa, guna meningkatkan prestasi pemerintah Indonesia telah menerbitkan sedikitnya delapan payung hukum yang terkait diantaranya:

  1. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 5
  2. Undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan pasal 48 ayat 1
  3. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan pasal 1 dan 36
  4. Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 2014 tentang pelaksanaan UU nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan pasal 74
  5. Permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti bagian VI.
  6. Standar Nasional Perpustakaan Nasional 2017
  7. Panduan gerakan literasi nasional tahun 2017
  8. SK Dirjen Pendis Kementerian Agama nomor 511 tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah

Lebih lanjut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Budaya membaca, menulis dan berhitung – selanjutnya disebut literasi, dijelaskan dalam undang-undang nomor 43 tahun 2017 tentang sistem perbukan. Dalam pasal 1: Literasi adalah kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam pembukaan undang-undang perbukuan juga digambarkan bahwa membangun peradaban bangsa dengan mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, informasi, dan/atau hiburan melalui buku yang memuat nilai-nilai dan jati diri bangsa Indonesia merupakan upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Melalui pasal ini, pemerintah secara tegas ingin menyampaikan sebuah pesan bahwa membaca adalah tolak ukur kualitas pendidikan, kawah  candradimuka peradaban umat manusia.

Usaha pemerintah dalam memfasilitasi pemberdayaan membaca melalui buku murah dan berkualitas terkendala pada hanya buku-buku teks pelajaran. Buku-buku non teks seperti, sastra, fiksi, karya umum dan lainnya sepertinya belum menjadi skala prioritas dalam upaya meningkatkan budaya baca melalui GerakanLiterasi Sekolah.

Dalam membangun budaya baca pada masyarakat tentu buku-buku semacam itu sangat diperlukan. Akibat dari ini semua buku-buku berkualitas menjadi mahal bahkan memberatkan. Mahalnya harga buku-buku berkualitas disebabkan biaya produksi yang tergolong mahal.

  1. Literasi Media

Literasi media berusaha memberikan kesadaran kritis bagi khalayak ketika berhadapan dengan media. Kesadaran kritis menjadi kata kunci bagi gerakan literasi media. Literasi media sendiri bertujuan untuk, terutama, memberikan kesadaran kritis terhadap khalayak sehingga lebih berdaya di hadapan media.

Literasi media hadir sebagai benteng bagi khalayak agar kritis terhadap isi media, sekaligus menentukan informasi yang dibutuhkan dari media. Literasi media diperlukan di tengah kejenuhan informasi, tingginya terpaan media, dan berbagai permasalahan dalam informasi tersebut yang mengepung kehidupan kita sehari-hari.

Literasi media merupakan kemampuan untuk seseorang dapat memahami dan mengerti berbagai bentuk media dan cara pengoperasiannya.. Sedangkan menurut Wikipedia Bahasa Indonesia ensiklopedi bahasa,  literasi media adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, mendekonstruksi pencitaan media.Literasi media muncul dan mulai sering dibicarakan karena media sering kali dianggap sumber kebanaran dan pada sisinya lain . Tidak banyak yang tahu bahwa media memiliki kekuasaan intelektual di tengah public dan menjadi medium untuk pihak yang berkepentingan untuk memonopoli makna yang akan dilempar ke publi

Menurut James Potter, ada 7 keterampilan (skill) yang dibutuhkan untuk meraih kesadaran kritis bermedia melalui literasi media. Ketujuh keterampilan atau kecakapan tersebut adalah:

  1. Kemampuan analisis menuntut kita untuk mengurai pesan yang kita terima ke dalam elemen-elemen yang berarti.
  2. Evaluasi adalah membuat penilaian atas makna elemen-elemen tersebut.
  3. Pengelompokan (grouping) adalah menentukan elemen-elemen yang memiliki kemiripan dan elemen-elemen yang berbeda untuk dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yang berbeda.
  4. Induksi adalah mengambil kesimpulan atas pengelompokan di atas kemudian melakukan generalisasi atas pola-pola elemen tersebut ke dalam pesan yang lebih besar.
  5. Deduksi menggunakan prinsip-prinsip umum untuk menjelaskan sesuatu yang spesifik.
  6. Sintesis adalah mengumpulkan elemen-elemen tersebut menjadi satu struktur baru.
  7. Abstracting adalah menciptakan deskripsi yang singkat, jelas, dan akurat untuk menggambarkan esensi pesan secara lebih singkat dari pesan aslinya.

Silverblatt  menyebutkan empat tujuan literasi media, yaitu kesadaran kritis, diskusi, pilihan kritis, dan aksi sosial.  Namun kesadaran kritis yang paling utama memberikan manfaat bagi khalayak untuk mendapat informasi secara benar terkait coverage media dengan membandingkan antara media yang satu dengan yang lain secara kritis; lebih sadar akan pengaruh media dalam kehidupan sehari-hari; menginterpretasikan pesan media; membangun sensitivitas terhadap program-program sebagai cara mempelajari kebudayaan; mengetahui pola hubungan antara pemilik media dan pemerintah yang memengaruhi isi media; serta mempertimbangkan media dalam keputusan-keputusan individu.

Dengan demikian, khalayak  diharuskan mampu mengontrol informasi atau pesan yang diterima. Literasi media dapat memberikan panduan tentang bagaimana mengambil kontrol atas informasi yang disediakan  oleh media. Semakin seseorang memiliki media literate, maka semakin mampu melihat batas antara dunia  nyata dengan dunia yang dikonstruksi oleh media.

  1. Literasi Visual

Literasi visual merupakan literasi yang menitik beratkan pada kemampuan seseorang dalam menginterpretasikan dan memahami suatu informasi dalam bentuk visual.Literasi visual adalah pemahaman pesan yang dikomunikasikan melalui bingkai ruang yang memanfaatkan objek, gambar, dan waktu, dan penjajarannya. Prinsip, aturan, dan bentuk yang menjadi ciri tata bahasa visual didasarkan pada komunikasi persepsi dan ekologi sistem simbol. Definisi yang lebih modern disampaikan oleh Branch (2000)

Literasi visual juga sangat terkait dengan pengetahuan tentang multimedia atau literasi media elektronik, teks, audio, grafik, video, animasi, dan bentuk interaktivitas dari komunikasi. Keterampilan kognitif dasar diperlukan untuk mengelola multimedia. Ketika pesan multimedia terdiri dari kata-kata dan grafik, siswa memerlukan keterampilan dalam lima proses kognitif dasar: memilih kata-kata yang relevan, memilih gambar yang relevan, mengatur kata-kata menjadi representasi yang koheren, mengatur gambar menjadi representasi yang koheren, dan mengintegrasikan representasi berbasis verbal dan visual tersebut dengan pengetahuan sebelumnya. Ada enam bidang kompetensi utama dalam literasi visual digital, yaitu:

  1. Konten dan Sumber Daya
  2. Teknologi CaptureCreationEditing
  3. Pembuatan Makna
  4. Hukum dan Etika yang Terkait
  5. Persepsi Manusia dan Visual
  6. Peran dalam Media Pembelajaran dan E-Learning

Literasi Visual (Visual Literacy) dikenalkan oleh John Debes (1969) yang didefinisikan sebagai kompetensi untuk memahami makna dari suatu gambar. Menurut Debes, Literasi Visual mengacu pada sekelompok kompetensi visi yang dapat dikembangkan oleh manusia dengan melihat dan pada saat yang sama memiliki dan mengintegrasikan pengalaman sensorik lainnya. Pengembangan kompetensi ini merupakan dasar untuk pembelajaran manusia normal. Ketika dikembangkan, memungkinkan manusia yang melek visual untuk membedakan dan menafsirkan tindakan yang terlihat, objek, dan simbol, baik alami atau buatan manusia yang dia temui di lingkungannya. Melalui penggunaan kompetensi ini secara kreatif dari, ia dapat berkomunikasi dengan orang lain. Melalui penggunaan kompetensi ini secara apresiatif, ia mampu memahami dan menikmati komunikasi visual.

Literasi visual pada dasarnya merupakan kesadaran yang lebih besar terhadap lingkungan visual dan informasi digital di mana kita hidup, bekerja, bertukar ide, dan berbagi indera tentang dunia. Sangat terkait dengan penggunaan pengetahuan dan keterampilan yang canggih untuk mengevaluasi informasi dalam dunia global yang kompleks dan kompetitif. Literasi visual juga sangat terkait dengan pengetahuan tentang multimedia atau literasi media elektronik, teks, audio, grafik, video, animasi, dan bentuk interaktivitas dari komunikasi. Keterampilan kognitif dasar diperlukan untuk mengelola multimedia.

  1. Literasi Perpustakaan

Perpustakaan merupakan komponen penting untuk pembelajaran formal siswa dan mahasiswa bahkan sebagai kebutuhan riset informal, sehingga  bukan sekadar tambahan dalam perjalanan pendidikan seseoran

Kondisi perpustakaan di Indonesia sangatmemprihatinkan terlebih di sekolah dasar. Dengan demikian tentumembutuhkan perhatian kita semua khusunya Pemerintah. Perpustakaan umum yang dibawah kendali pemerintah daerah dirasakan belum mampu melayani secara baik, hal ini disebabkan selain letaknya yang hanya di pusat kota namun kendala lain kurangnya sarana fasilitas perpustakaan keliling hingga ke daerah-daerah terdalam. Dengan kondisi seperti ini tentu akan menghambat program Gerakan Literasi Nasional (GLN)  yang sedang digembar-gemborkan pemerintah pusat. Bahkan program pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah dirasakan  hanya menjadi sebuah gerakan tanpa tujuan yang terukur.

Perpustakaan baik perpustakaan umum, perpustakaan perguruan tinggi atau perpustakaan sekolah, sebagai sarana pendukung proses terbentuknya masyarakat yang cerdas. Perpustakaan  memilikiposisi strategis dalam masyarakat pembelajar. Perpustakaan memiliki peran penting di masyarakat atau bangsa sehingga perpustakaan dapat dikatakan sebagai gudang ilmu, informasi dan perpustakaan sebagai jantung informasi, perpustakaan sebagai jantung perguruan tinggi, perpustakaan sebagai sentral informasi, perpustakaan sebagai lumbung informasi, dan masih banyak sebutan lainnya. Pada sisi lain masyarakat dalam memanfaatkan perpustakaan masih sangat rendah, baik pada perpustakaan umum, perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan Sekolah atau perpustakaan khusus lain yang berada di kantor desa atau masyarakat.

Menurut buku Pedoman Pembinaan Koleksi dan Pengetahuan Literature (1998 : 2), ”Koleksi perpustakaan adalah semua bahan pustaka yang dikumpulkan, diolah, dan disimpan untuk disajikan kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan pengguna akan informasi”. Sedangkan menurut Ade Kohar (2003 : 6), “Koleksi perpustakaan adalah yang mencakup berbagai format bahan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan alternatif para pemakai perpustakaan terhadap media rekam informasi

Menurut Ade Kohar (2003 : 6), “Pengembangan koleksi adalah sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan penentuan dan koordinasi kebijakan seleksi, menilai kebutuhan pemakai, studi pemakaian koleksi, evaluasi koleksi, identifikasi kebutuhan koleksi, seleksi bahan pustaka, perencanaan kerjasama sumberdaya koleksi, pemeliharaan koleksi, dan penyiangan koleksi perpustakaan”. Sedangkan menurut buku Perpustakaan Perguruan tinggi (2004 : 25), “Pengembangan koleksi adalah kegiatan memilih dan mengadakan bahan perpustakaan sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pustakawan bersama sama dengan sivitas akademika perguruan tingginya”.

 Koleksi perpustakaan sekolah adalah sejumlah bahan atau sumber-sumber informasi, baik berupa buku ataupun bukan buku, yang dikelola untuk kepentingan proses belajar mengajar di sekolah yang bersangkutan (Yusuf dan Suhendar, 2005:9). Koleksi merupakan “amunisi” dari perpustakaan sekolah. Tanpa adanya koleksi yang memadai, maka perpustakaan sekolah tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal. Oleh karena itu, pengelola perpustakaan sekolah wajib mengetahui jenis-jenis koleksi perpustakaan sekolah dan bagaimana pengembangannya agar koleksi tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengguna

Literasi perpustakaan melibatkan karya tulis fiksi maupun non-fiksi,melibatkan indeks dan katalog.

  1. Literasi Teknologi

Di era Revolusi Industri 4.0, lembaga pendidikan dasar sampai perguruan tinggi tidak cukup menerapkan literasi yang hanya mengandalkan kegiatan  membaca, menulis, dan  berhitung, namun harus menerapkan literasi baru berbasis teknologi yang meliputi bagaimana menghidupkan aspek literasi data, literasi teknologi dan literasi sumber daya manusia atau humanisme.Literasi Teknologi merupakan literasi yang berkaitan dengan teknolog

Revolusi Industri 4.0 identik dengan disruption, disruptive (ketercerabutan) karena hampir semua ranah kehidupan berkonversi dari manual menuju digital. Jika kita dihadapkan ketercerabutan ini, maka bonus demograsi Indonesia pada 2045 harus disiapkan

Kita mengenal gagasan literasi baru yang  muncul secara formal pada 17 Januari 2018 saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek Dikti). Saat itu muncul gagasan literasi baru sebagai bentuk persiapan KemenristekDikti menyongsong era diruption (ketercerabutan).Literasi baru yaitu data, teknologi dan SDM. Manusia harus memanfaatkan dan mengolah data, menerapkannya ke dalam teknologi dan harus memahami penggunaan teknologi. Literasi manusia menjadi penting bertahan di era ini, tujuannya manusia bisa berfungsi baik di lingkungannya dan dapat memahami interaksi dengan manusia. Jika dulu kita hanya disuguhkan literasi lama (membaca, menulis, dan berhitung), namun saat ini harus menerapkan literasi baru (data, teknologi, humanisme).Dari peta kemampuan literasi di atas, sangat paradoks dengan kemampuan literasi masyarakat Indonesia.

Dengan adanya jenis-jenis Literasi dalam pembelajaran yang akan dilakukan untuk mencapai target yang akan diinginkan sebagai pembelajar yang berjalan pada jalur yang telah ditetapkan sebaik kita memperhatikan situasi dan kondisi yang mendukung kita untuk menjalani pembelajaran dengan efektif dan efisien. Semoga apa yang telah kita putuskan dapat dicapai dengan baik.

Untuk menjalani literasi pada masa pandemi ini kita harus memperhatikan protocol kesehatan. Nanti dalam menjalani kegiatan pembelajaran kita tidak lalai dan menjadi lebih baik untuk tahap yang akan dikejar dalam pendidikan sehingga semuanya berjalan sesuai rencana yang telah diharapkan.

Dengan berani mengambil keputusan pada diri kita untuk melakukan koreksi secara matang dan professional kita diharapkan dapat melalui  masalah pandemic ini dengan lebih baik untuk kedepannya.

  1. Kesimpulan

Masa pandemi Covid-19 nampaknya memaksa semua elemen masyarakat untuk berpikir, bergerak lebih produktif dua kali dari kehidupan normal biasanya hal ini dikarenakan masih terus melanda berbagai ranah kehidupan manusia di berbagai belahan bumi ini, Indonesia merupakan Negara yang memiliki tingkat penyebaran yang cukup besar Berbagai sektor kehidupan yang berlangsung pada masa normal kini harus mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekarang (masa covid-19 Demikian pula dengan sektor pendidikan yang menjadi warna kehidupan keseharian selama ini, harus menerima sebuah konsekwensi yang tidak ringan.

Berdasarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan Coronavirus Disease (Covid-19) pada Satuan Pendidikan yang disusul dengan penerbitan Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19). Melalui penerbitan regulasi tersebut, mengharuskan seluruh aktivitas pembelajaran baik di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dilaksanakan secara daring. Kondisi ini mempengaruhi upaya peningkatan daya literasi seseorang berubah dari yang semula berbasis luring dan melalui bentuk fisik kini dilakukan melalui jaringan internet dengan berbagai fasilitas layanan public secara digital seperti e-book, perpustakaan digital dan lainnya.

Upaya yang harus dilakukan oleh sekolah adalah menyusun formulasi program yang tepat guna mensinergiskan pola PJJ dengan penumbuhkembangan kemampuan literasi siswa. Formulasi program yang disusun oleh sekolah harus merupakan langkah antisipatif dalam mengurangi setiap tugas dan pekerjaan yang didasari oleh instruksi ketat dari setiap gurunya. Dengan langkah ini, siswa dimungkinkan memiliki kebebasan dan keleluasaan untuk berkegiatan literasi

 

REFERENSI

http://www.merdeka.com/jatim/apa-itu-literasi-simak-3-pengertiannya-menurut-institusi-dunia-kln.html

https://id.wikipedia.org/wiki/literasi_media

https://www.literasipublik.com/pengertian-literasi-mediahttps://keena.id/knowledge/511-memahami-konsep-literasi-visual-atau-visual-literacy

Art Silverblatt. 1995. Media Literacy: Keys to Interpreting Media Messages. London: Praeger

James Potter. 2011. Media Literacy, Fifth Edition. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore, Washington DC: Sage Publication

Branch, R. M. (2000).A taxonomy of visual literacy. In A. W. Pailliotet & P. B. Mosenthal (Eds.), Reconceptualizing literacy in the media age. Stamford, CT: JAI Press, Inc.

https://maglearning.id/2019/04/04/literasi-visual/

https://www.kompasiana.com/pustakawan/

5512daf08133113644bc601b/membangun-literasi-informasi-perpustakaan-melalui-pendidikan-pemakai

Dirjen Belmawa Ristek Dikti, “Era Revolusi Industri 4.0: Perlu Persiapkan Literasi Data, Teknologi dan Sumber Daya Manusia,” Berita, (17 Januari 2018), belmawa.ristekdikti.go.id/2018/01/17/era-revolusi-industri-4-0-perlu-persiapkan-literasi-datateknologi-dan-sumber-daya-manusia diakses pada 16 Juli 2018.

Hamidulloh Ibda, “Ibu, Agen Literasi Humanisme dalam Keluarga,” Suara Kita, 25 April 2018, https://jalandamai.org/ibu-agen-literasi-humanisme-dalam-keluarga.html diakses pada 17 Juli 2018.

Foto : klikdokter.com

 

banner 468x60

Author: 

Related Posts

Tinggalkan Balasan