
Setiap tanggal 24 September, bangsa Indonesia memperingati Hari Tani Nasional sebagai penghormatan atas lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 sekaligus pengakuan atas jasa petani mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan melalui penguasaan lahan yang adil. Momentum ini bukan sekadar seremoni, melainkan pengingat bahwa pertanian tetap menjadi fondasi kehidupan bangsa. Namun di balik penghormatan itu, kita dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana memastikan regenerasi petani di tengah menurunnya minat generasi muda untuk menekuni dunia pertanian.
Di tengah gegap gempita perkembangan teknologi digital dan industri modern, sektor pertanian kerap dipandang sebelah mata oleh generasi muda. Banyak lulusan SMA lebih tertarik memilih rumpun ilmu kedokteran, ekonomi, hukum, hingga teknik, sementara rumpun pertanian sering kali ditempatkan bukan sebagai pilihan utama, melainkan alternatif terakhir. Fenomena ini menjadi alarm serius: siapa yang akan melanjutkan tongkat estafet sebagai petani dan inovator pertanian di masa depan?
Padahal, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sektor pertanian masih menjadi penyerap tenaga kerja terbesar kedua di Indonesia, dengan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun ironisnya, data Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) dalam tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa minat siswa memilih rumpun pertanian relatif rendah, rata-rata hanya berkisar 5–6 persen dari total pendaftar. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan rumpun sains kesehatan, teknik, dan ekonomi yang selalu menjadi incaran utama. Kondisi serupa juga terjadi di perguruan tinggi swasta: prodi pertanian masih sering berjuang keras menarik calon mahasiswa baru.
Fenomena rendahnya minat ini tidak bisa dipandang remeh. Usia rata-rata petani Indonesia menurut BPS telah menembus 45 tahun lebih, dengan dominasi petani generasi tua. Artinya, regenerasi petani berjalan lambat. Jika tidak segera diatasi, kita berisiko menghadapi krisis regenerasi petani di tengah kebutuhan pangan yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk. Situasi ini berpotensi mengancam kedaulatan pangan nasional dan meningkatkan ketergantungan impor.
Di sinilah pendidikan tinggi pertanian memiliki peran strategis. Perguruan tinggi bukan sekadar tempat transfer ilmu, tetapi menjadi kawah candradimuka lahirnya SDM pertanian unggul, generasi muda yang terdidik, inovatif, dan mampu menggerakkan transformasi pertanian. Pendidikan tinggi pertanian harus mampu mengubah cara pandang mahasiswa bahwa pertanian bukan sekadar kerja kasar di sawah, melainkan sektor modern yang sarat teknologi, berwawasan global, sekaligus menjanjikan secara ekonomi.
Untuk itu, kurikulum pendidikan pertanian harus terus beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Pertanian masa depan akan sangat bergantung pada teknologi: mulai dari bioteknologi, rekayasa genetika, Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), hingga sistem pertanian presisi yang ramah lingkungan. Perguruan tinggi dituntut tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga menyiapkan mahasiswa menghadapi dunia nyata dengan bekal keterampilan praktis, jiwa kewirausahaan, dan kepekaan sosial.
Namun, tantangan besar menghadang. Pendidikan tinggi pertanian baik negeri maupun swasta membutuhkan kapital yang sangat besar untuk membangun laboratorium pembelajaran pertanian yang layak dan relevan dengan perkembangan industri,. Laboratorium bukan hanya ruang praktik dasar, melainkan ekosistem inovasi yang menuntut fasilitas terbarukan: rumah kaca dengan sistem otomatis, peralatan bioteknologi untuk kultur jaringan, mesin pertanian modern, hingga fasilitas uji kualitas pangan dan tanah yang terstandar. Semua ini membutuhkan investasi besar, sementara tidak semua kampus memiliki daya dukung finansial yang memadai.
Perguruan tinggi negeri relatif terbantu oleh alokasi anggaran pemerintah, meskipun tetap harus berjuang keras menyesuaikan dengan pesatnya perkembangan teknologi. Sementara itu, perguruan tinggi swasta sering kali menghadapi beban lebih berat. Keterbatasan dana operasional membuat mereka harus mencari jalan kreatif, misalnya bermitra dengan industri, menjalin kerjasama riset dengan pemerintah daerah, atau menggandeng investor. Tanpa laboratorium yang memadai, sulit bagi perguruan tinggi pertanian menghasilkan lulusan yang benar-benar kompetitif dan siap pakai.
Selain masalah infrastruktur, tantangan lain adalah citra pertanian di mata generasi muda. Pertanian masih sering dilihat sebagai sektor tradisional yang identik dengan lumpur dan kerja fisik. Padahal, dengan dukungan pendidikan tinggi dan riset, pertanian bisa tampil sebagai sektor modern yang menggabungkan ilmu, teknologi, dan peluang bisnis yang menjanjikan. Mengubah citra ini memerlukan kerja bersama antara kampus, pemerintah, media, dan pelaku industri untuk menghadirkan narasi baru tentang pertanian: sebagai masa depan yang prospektif, bukan masa lalu yang tertinggal.
Hari Tani Nasional yang diperingati setiap 24 September menjadi momentum penting untuk merefleksikan persoalan ini. Kita perlu menyadari bahwa petani adalah pahlawan pangan, tetapi mereka tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri. Regenerasi petani melalui pendidikan tinggi menjadi kebutuhan mendesak. Kampus pertanian harus menjadi pusat lahirnya inovasi sekaligus motor penggerak regenerasi. Mahasiswa pertanian harus dipersiapkan bukan hanya sebagai pencari kerja, tetapi juga sebagai pencipta lapangan kerja wirausahawan muda yang membawa ide-ide segar dalam agribisnis dan agroindustri.
Di era globalisasi, persaingan pertanian tidak lagi berbatas wilayah. Produk pertanian kita harus mampu bersaing dengan produk luar negeri baik dari segi kualitas, efisiensi produksi, maupun keberlanjutan lingkungan. SDM pertanian yang lahir dari perguruan tinggi menjadi ujung tombak untuk mewujudkan itu semua. Mereka adalah inovator benih unggul, peneliti pupuk ramah lingkungan, pengembang teknologi budidaya presisi, hingga perancang sistem pemasaran digital yang mampu menembus pasar global.
Oleh karena itu, sinergi antara perguruan tinggi, pemerintah, industri, dan masyarakat perlu diperkuat. Pemerintah harus memberikan dukungan nyata, bukan hanya dalam bentuk regulasi, tetapi juga insentif dan pendanaan riset. Industri perlu terlibat aktif dalam menyediakan laboratorium bersama, magang mahasiswa, serta adopsi teknologi hasil riset kampus. Masyarakat pun harus didorong untuk melihat pendidikan pertanian sebagai investasi jangka panjang bagi kedaulatan pangan bangsa.
Peringatan Hari Tani Nasional ini hendaknya tidak berhenti pada seremoni, tetapi menjadi titik tolak komitmen bersama: membangun pertanian yang maju, modern, dan berkelanjutan. Semua itu hanya bisa terwujud jika ditopang oleh SDM unggul, dan SDM unggul hanya bisa lahir dari pendidikan pertanian yang bermutu.
Dengan demikian, perguruan tinggi pertanian baik negeri maupun swasta harus ditempatkan sebagai kunci masa depan petani Indonesia. Dari ruang kuliah, laboratorium, hingga ladang penelitian, kampus-kampus inilah yang akan melahirkan generasi baru petani dan ilmuwan pertanian yang siap mengabdi, berinovasi, dan membawa pertanian Indonesia menuju kemandirian dan kemakmuran.