Perjalanan Ke Jabalkat
Singkat cerita Ki Ageng Pandan Aran akan pergi ke Jabalkat untuk mencari Sunan Kalijaga. Beliau berpamitan pada kedua istrinya. Baru melangkah beberapa meter, Ki Ageng menoleh kebelakang. Dan ternyata kedua istrinya sudah mengikutinya dengan membawa tongkat. Tongkat itu diisi dengan emas dan berlian. Ki Ageng sudah tahu kalau istrinya membawa harta, namun Ki Ageng tidak menegurnya.
Dalam perjalanan ke Jabalkat Ki Ageng Pandan Aran selalu berjalan di depan istrinya. Istrinya Nyai Ageng Kaliwungu jauh di belakang. Di tengah perjalanan, tepatnya di selatan Semarang Ki Ageng Padang Aran dicegat 2 orang perampok. Kedua perampok itu menyuruh Kyai Ageng untuk menyerahkan hartanya. Namun Kyai Ageng tidak membawa apa-apa dan menyuruh perampok-perampok itu jika ingin harta untuk mengambil tongkat yang di bawa wanita dibelakang. Di dalamnya terdapat emas dan berlian tapi jangan sekali-kali kalian mencelakainya karena dia istriku. Ambil saja tongkatnya dan segeralah pergi.
Tak lama kemudian lewatlah Nyai Ageng dengan membawa tongkat. Dan perampok-perampok itu langsung merebut tongkat tersebut. Nyai Ageng menangis sambil berlari menyusul Ki Ageng. Sedangkan istri yang satunya kembali pulang. Karena sifat perampok itu serakah mereka merasa belum puas dengan hasil rampasannya. Perampok itu meminta bekal yang di bawa Ki Ageng bahkan mengancam kalau tidak di beri akan membunuhnya. Kemudian Ki Ageng Pandan Aran berkata “Wong salah kok iseh tega temen (Bahasa Indonesia: orang sudah salah kok masih tega). Kata-kata salah tega itu kemudian sampai sekarang menjadi nama kota Salatiga.Kemudian Ki Ageng Pandan Aran berujar “keterlaluan kau ini, tindakanmu mengendus seperti domba saja”. Dan seketika itu kepala dari Sambang Dalan (nama seorang perampok) berubah menjadi kepala domba. Mengetahui kepalanya berubah menjadi domba, Sambang Dalan menangis dan menyesal atas perbuatannya. Dan berjanji akan mengabdi pada Ki Ageng Sejak saat itu Sambang Dalan di juluki Syeh Domba.
Sedangkan perampok yang satunya lagi rebah ketakutan (dalam bahasa jawa: ngewel) dan kepalanya berubah menjadi kepala ular. Sejak saat itu dia di juluki Syeh Kewel. Kedua perampok tadi menjadi santri setia Ki Ageng. Dan mengikuti Ki Ageng untuk pergi ke Jabalkat
Hari demi hari berlalu, Ki Ageng terus berjalan ke Selatan untuk menuju Ke Jabalkat. Mereka sudah jauh meninggalkan kota Semarang, namun Ki Ageng Pandan Aran tetap tegap berjalan sedangkan Nyai Ageng sudah lelah dan di ikuti oleh muridnya. Pada suatu hari Ki Ageng Pandan Aran berjalan terus tanpa henti, tanpa menghiraukan istrinya. Nyai Ageng tertinggal jauh di belakang. Lalu Nyai Ageng berkata “Ojo lali ingsun, aku ojo ditinggal terus” (bahasa Indonesia: jangan lupa kamu, istrimu jangan ditinggal terus). Sampai saat ini untuk mengingat hal itu tempat tersebut diberi nama Boyolali.
Perjalan mereka telah sampai di sebuah desa yang tidak jauh dari tujuannya. Rombongan Ki Ageng melihat seorang perempuan tua yang membawa beras. Kemudian Ki Ageng Pandan Aran berkata “Tunggu sebentar Nyai, kami hanya ingin bertanya dimanakah Jabalkat itu?”. Perempuan itu menjawab “Kurang lebih sepuluh kilometer lagi ke Timur”. Kemudian Ki Ageng bertanya lagi “Apakah yang Nyai bawa itu?”. Karena takut di rampok perempuan itu berbohong dan menjawab bahwa yang dibawanya adalah wedi (bahasa Indonesia: pasir).
Setelah rombongan Ki Ageng berlalu, perempuan tadi merasa beras yang di gendongnya semakin berat. Ternyata setelah di lihat, beras yang dibawanya tadi berubah menjadi wedi (pasir). Perempuan itu menyesal karena sudah berbohong. Dalam hatinya ia bertanya siapakah rombongan tadi dan perempuan itu bertekat tidak akan berbohong lagi. Kemudian desa tempat membuang wedi (pasir) tadi sampai sekarang terkenal dengan nama Wedi, salah satu nama kecamatan di wilayah Kabupaten Klaten.
Singkat cerita, pada suatu hari Ki Ageng bermalam di salah satu rumah penduduk desa. Orang ini berjualan srabi, namanya Nyai Tasik orangnya galak dan kikir. Disini Ki Ageng ikut berjualan srabi dan mengaku bernama Slamet. Dengan kehadiran Slamet inilah srabi Nyai Tasik laris sekali. Sampai-sampai banyak orang rela berjam-jam antri untuk membeli srabi buatan Nyai Tasik.
Suatu hari Nyai Tasik menyuruh Slamet untuk mencari kayu bakar di hutan karena persediaan kayu bakar sudah habis. Namun anehnya Slamet tidak mencari kayu bakar tetapi srabi tetap matang. Ternyata tangan Slamet di masukkan ke dalam tungku untuk memasak srabi. Alangkah terkejutnya Nyai Tasik mengetahui hal itu.
Dengan kejadian itu Nyai Tasik takut dan tahu bahwa Slamet bukanlah orang sembarangan. Dengan kejadian itu Ki Ageng Pandan Aran memberi tahu Nyai Tasik siapa dirinya. Nyai Tasik Pun Bertaubat dan mengikuti ajaran Kyai Ageng. Dan setelah itu Ki Ageng Pandan Aran melanjutkan perjalanan Ke Jabalkat. Beliau melanjutkan perjalanan ke arah timur. Baru melangkah beberapa meter sudah terlihat dari kejauhan Gunung Jabalkat.
Tibalah Ki Ageng Pandan Aran di sebuah desa. Di desa ini Ki Ageng merasa haus sekali. Ki Ageng meminta ketimun pada seorang petani. Namun petani itu berkata bahwa ketimunnya belum berbuah. Tetapi Ki Ageng tahu bahwa ketimunnya sudah berbuah satu. Lalu Ki Ageng Pandan Aran berkata “Iki wes jiwoh” (jiwoh=siji awoh). Maka sampai sekarang desa itu terkenal dengan nama desa Jiwo, terletak di sebelah barat Gunung Jabalkat.
Setelah Ki Ageng Pandan Aran meninggalkan desa Jiwo, baru beberapa meter berjalan sudah sampai di kaki Gunung Jabalkat. Kemudian dengan segera Ki Ageng menaiki gunung tersebut. Setelah sampai di puncak Gunung Jabalkat, Ki Ageng Pandan Aran terdiam lama menunggu Sunan Kalijogo Kemudian Ki Ageng Pandan Aran meminta petunjuk Alloh dan sesaat kemudian terlihat sosok tubuh yang tak lain adalah Sunan Kalijogo Sang Guru yang sangat dinantikan.
Mulai saat itu Kyai Ageng Pandan Aran tinggal di Jabalkat dan merasa mendapat perintah untuk menyiarkan agam islam. Lalu Ki Ageng mendirikan masjid di puncak Gunung Jabalkat. Dan setiap hari Jumat Legi ada sarasehan. Dengan adanya pengajian ini, rakyat di sekitar mengenalnya dengan sebutan Kyai Ageng Pandan Aran yang berarti orang yang memberi pepadang atau penerangan. Dan tempat untuk berkumpul diberi nama Paseban. Sampai sekarang nama Paseban menjadi nama dukuh atau desa.
Syeh Domba dan Syeh Kewel diberi tugas oleh Kyai Ageng Pandan Aran untuk mengisi padasan (tempat wudhu) dengan kranjang. Walau tugas itu berat namun tetap mereka jalani. Mereka harus naik turun gunung untuk membawa air tesebut. Mereka tetap tabah dan tawakal. Hingga pada suatu hari Sunan Kalijaga melihat keduanya, kemudian menanyakan kepada Kyai Ageng “Kedua muridmu itu apakah memang domba dan ular?”. Sunan Pandan Aran menjawab sebenarnya juga manusia. Dan seketika itu kepala Syeh Domba dan Syeh Kewel berubah lagi menjadi kepala manusia.
Syeh Domba dan Syeh Kewel semakin mantap beguru kepada Sunan Pandan Aran, hingga meninggalnya mereka. Syeh Domba meninggal lebih dahulu. Kyai Ageng Pandan Aran memberi pusaka dan Syeh Domba meninggal karena menabrak pusaka itu. Konon Syeh domba adalah patih Majapahit karena patih Majapahit hanya bisa mati dengan pusaka itu. Syeh Domba di makamkan di Gunung Cakaran. Sedangkan Syeh Kewel di makamkan di Sentana (di desa Penengahan, sebelah tenggara desa Paseban).
Dalam perjalanan uzlahnya dari urusan duniawi beliau mengajarkan ilmu-ilmu agama dengan metode patembayatan yang mempunyai makna kurang lebih musyawaroh. Karena sistim mengajinya dengan metode tersebut beliau oleh Sang Guru (Sunan Kalijaga) mendapat sebutan Sunan Bayat. Dan daerah padhepokannya terkenal dengan daerah Bayat yang terletak kurang lebih 12 km. dari ibukota kabupaten Klaten.
Ki Ageng Sunan Pandan Aran wafat pada tahun 1537 dengan meninggalkan murid-murid yang sangat terkenal antara lain : Syeikh Dombo, Ki Ageng Gribig, Nyai Ageng Tasik, Kyai Sabuk Janur, Kyai Sekar Dlimo, Ki Ageng Semilir, Ki Ageng Majasto, Kyai Kali Datuk, Ki Ageng Konang serta masih banyak yang lainnya.