
Momen Persatuan Setelah Luka Panjang
Islah atau rekonsiliasi internal yang baru saja dicapai Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi peristiwa politik yang penting dan penuh makna. Setelah bertahun-tahun partai ini dirundung konflik dualisme kepemimpinan, kini akhirnya muncul harapan baru. Di bawah kepemimpinan Mardiono sebagai Ketua Umum, didampingi Agus Suparmanto dan Sekjen Taj Yasin Maemun, PPP berpeluang besar menata ulang arah perjuangan politiknya menuju Pemilu 2029.
Momentum islah ini bukan sekadar kesepakatan damai di atas meja politik. Ia adalah simbol kebangkitan moral dan spiritual partai Islam tertua di republik ini. PPP harus memaknai islah sebagai panggilan sejarah—untuk membuktikan bahwa politik Islam tidak identik dengan konflik, melainkan dengan keutuhan, kedewasaan, dan tanggung jawab moral terhadap bangsa.
PPP memiliki rekam jejak panjang dalam demokrasi Indonesia. Lahir dari semangat penyatuan empat kekuatan Islam di tahun 1973, partai ini pernah menjadi wadah perjuangan umat yang mengedepankan keadilan sosial, moderasi, dan moralitas publik. Sayangnya, konflik internal selama satu dekade terakhir telah menggerus citra tersebut. Publik kehilangan kepercayaan, kader kehilangan arah, dan partai seakan berjalan di tempat.
Kini, melalui proses islah yang mempertemukan dua figur besar—Mardiono dan Agus Suparmanto—serta dimotori oleh Taj Yasin Maemun yang membawa spirit ulama besar KH. Maimoen Zubair, PPP memiliki peluang langka untuk lahir kembali.
Islah: Dari Simbol Menuju Substansi
Dalam konteks politik Indonesia, kata islah seringkali digunakan secara simbolik: bersalaman, berfoto bersama, lalu kembali bersaing dalam diam. Namun, islah sejati harus melampaui basa-basi politik. Ia mesti diwujudkan dalam tiga langkah besar: rekonsiliasi struktural, rekonsiliasi moral, dan rekonsiliasi ideologis.
Pertama, rekonsiliasi struktural berarti seluruh kepengurusan dari pusat hingga daerah harus disatukan kembali secara administratif dan fungsional. Tidak boleh ada lagi DPW atau DPC yang merasa diabaikan oleh pusat. Partai harus memastikan bahwa islah di Jakarta juga dirasakan di Boyolali, Banyuwangi, Makassar, hingga Ternate.
Kedua, rekonsiliasi moral. Luka akibat dualisme tidak bisa disembuhkan hanya dengan dokumen dan SK. Dibutuhkan dialog, keikhlasan, dan penghormatan kepada kader yang selama ini tetap setia menjaga nama PPP di daerah meskipun terhimpit konflik internal. Mereka adalah tulang punggung partai.
Ketiga, rekonsiliasi ideologis. PPP perlu menegaskan kembali jati dirinya sebagai partai Islam moderat yang tidak eksklusif. Dalam konteks politik modern, PPP harus menjadi penyeimbang antara spiritualitas dan rasionalitas, antara agama dan kemajuan.
Jika ketiga bentuk rekonsiliasi ini berjalan bersamaan, maka islah tidak akan berhenti pada seremoni, melainkan menjadi fondasi kebangkitan baru PPP.
Tantangan: Mengelola Luka, Menumbuhkan Kepercayaan
Setiap islah membawa dua sisi: harapan dan kecurigaan. Harapan muncul karena publik ingin melihat PPP kembali solid. Namun di sisi lain, ada residu kekecewaan yang masih melekat di sebagian kader. Banyak yang merasa tidak dilibatkan atau kurang dihargai selama konflik berlangsung.
Tantangan utama kepemimpinan Mardiono–Agus–Taj Yasin adalah membangun kepercayaan kolektif. Mereka harus membuktikan bahwa kepemimpinan baru ini bukan hasil kompromi elit semata, melainkan hasil kesadaran bersama untuk memperjuangkan kembali aspirasi umat Islam dalam bingkai kebangsaan.
Selain itu, PPP harus berani keluar dari jebakan politik transaksional. Partai ini perlu memperlihatkan perbedaan yang nyata dibandingkan partai lain — bukan sekadar berbicara soal “kursi,” tetapi soal nilai. Jika PPP kembali menjadi partai yang bersuara untuk moral publik, etika berpolitik, dan keadilan sosial, maka masyarakat akan kembali menaruh kepercayaan.
Namun sebaliknya, jika PPP masih terjebak dalam pola lama — sekadar menjadi “pelengkap koalisi” tanpa arah ideologis yang jelas — maka islah hanya akan menjadi catatan singkat dalam sejarah, bukan batu loncatan menuju masa depan.
PPP dan Jalan Politik Islam Moderat
Politik Islam di Indonesia selalu memiliki dua wajah: satu yang idealis dan moral, satu lagi yang pragmatis dan elektoral. PPP sejak awal berdiri selalu mencoba menyeimbangkan keduanya. Namun di era kontestasi modern, garis batas itu makin kabur.
Partai-partai baru bermunculan membawa jargon religius, sementara PPP yang sesungguhnya memiliki akar sejarah panjang justru tertinggal dalam inovasi. Oleh karena itu, kebangkitan PPP harus dimulai dengan rebranding politik Islam moderat — bukan hanya di level wacana, tetapi juga program konkret.
Moderatisme yang diusung PPP harus berbeda dari sekadar “tengah-tengah.” Ia harus bermakna: Islam yang toleran, membangun, ramah terhadap kemajuan, dan terbuka terhadap perubahan sosial. PPP dapat menjadi jembatan antara tradisi keulamaan dan modernitas politik, antara pesantren dan parlemen, antara spiritualitas dan teknologi.
Sosok Taj Yasin Maemun (Gus Yasin) punya peran penting di sini. Sebagai generasi penerus ulama kharismatik KH. Maimoen Zubair, ia membawa legitimasi moral dan kultural yang kuat. Kehadirannya dapat menjembatani partai dengan jaringan pesantren, ormas Islam, dan komunitas santri muda di seluruh Indonesia.
Di sisi lain, Mardiono dan Agus Suparmanto menghadirkan pengalaman birokrasi dan jejaring nasional yang dibutuhkan untuk menggerakkan mesin politik secara profesional. Kombinasi spiritualitas dan manajerial inilah yang bisa menjadi energi baru PPP menuju Pemilu 2029.
Strategi Kebangkitan: Dari Konsolidasi ke Transformasi
Kebangkitan PPP tidak cukup hanya dengan perubahan figur. Ia butuh strategi besar yang sistematis, terukur, dan berorientasi jangka panjang. Setidaknya ada lima langkah strategis yang bisa ditempuh:
-
Konsolidasi Struktural Nasional.
Kepengurusan harus dirapikan hingga ke tingkat ranting. Lakukan tur konsolidasi nasional agar semua kader merasakan semangat yang sama. Mardiono, Agus, dan Taj Yasin perlu tampil bersama di hadapan publik untuk menegaskan bahwa islah ini nyata. -
Regenerasi dan Pendidikan Kader.
PPP tidak boleh kehilangan generasi muda. Partai perlu membuka pintu bagi santri, mahasiswa, dan aktivis muda Islam yang ingin berpolitik secara bersih dan rasional. Bentuk sekolah politik Islam moderat di tiap wilayah bisa menjadi wadah kaderisasi. -
Digitalisasi dan Komunikasi Publik.
Dalam era media sosial, citra partai sangat bergantung pada narasi digital. PPP harus hadir di ruang publik dengan konten positif, edukatif, dan inspiratif. Jangan hanya muncul menjelang pemilu. -
Program Konkret untuk Umat.
PPP perlu menawarkan solusi nyata, seperti pemberdayaan ekonomi berbasis pesantren, digitalisasi UMKM, dan pembiayaan syariah untuk masyarakat kecil. Politik Islam tidak hanya berbicara soal moral, tetapi juga kesejahteraan. -
Etika dan Transparansi Politik.
Reformasi internal harus disertai akuntabilitas keuangan partai. Laporan publik secara rutin akan meningkatkan kepercayaan dan menjadi pembeda antara PPP dan partai-partai lain.
Jika lima langkah ini dijalankan dengan disiplin, maka PPP akan tampil sebagai partai Islam yang modern, bersih, dan berwawasan masa depan.
Menyongsong Pemilu 2029: Ujian Islah yang Sebenarnya
Pemilu 2029 akan menjadi ujian moral dan politik terbesar bagi PPP pasca-islah. Apakah partai ini mampu bertahan sebagai kekuatan Islam moderat, atau kembali tergelincir dalam konflik dan fragmentasi?
Dalam demokrasi modern, keberhasilan partai tidak diukur dari seberapa sering ia tampil di layar televisi, tetapi dari seberapa besar ia berkontribusi memperbaiki kualitas hidup masyarakat. PPP harus mampu menampilkan wajah politik Islam yang solutif, bukan retoris.
Kehadiran Mardiono dan Agus Suparmanto di pucuk kepemimpinan dapat dimaknai sebagai simbol stabilitas dan profesionalitas. Sementara sosok Gus Yasin menjadi penjaga moralitas politik partai agar tidak tergelincir pada pragmatisme kekuasaan.
Jika ketiganya mampu berjalan seiring—tanpa saling menegasikan—maka PPP tidak hanya akan bertahan, tetapi akan menjadi salah satu pemain penting dalam peta politik nasional 2029.
Dari Konflik ke Kebangkitan
Dalam sejarah panjang partai-partai Islam di Indonesia, tidak banyak yang mampu bangkit setelah terpecah. PPP punya kesempatan langka untuk membuktikan sebaliknya. Islah ini bisa menjadi kisah kebangkitan—jika dimaknai dengan kedewasaan dan dijalankan dengan keikhlasan.
Bangsa Indonesia sedang menunggu partai Islam yang tidak hanya bersuara soal simbol agama, tetapi juga memperjuangkan etika, keadilan, dan kesejahteraan. PPP, dengan warisan ulama besar dan tradisi panjangnya, memiliki modal moral untuk menjadi penyeimbang antara politik dan spiritualitas.
Namun sejarah hanya berpihak pada mereka yang berani berubah. PPP harus melangkah dengan kesadaran baru: bahwa kekuasaan bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk menegakkan nilai dan pelayanan kepada umat.
Penutup
Pasca islah, PPP berada di titik balik sejarahnya. Di bawah kepemimpinan Mardiono – Agus Suparmanto – Taj Yasin Maemun, partai ini punya peluang untuk kembali menjadi rumah besar Islam moderat di Indonesia.
Tantangannya tidak kecil, tetapi kesempatan jauh lebih besar. Selama kepemimpinan ini mampu mengedepankan moralitas, profesionalitas, dan semangat kebersamaan, PPP bisa bangkit sebagai kekuatan politik Islam yang berintegritas dan rasional.
Islah bukan akhir dari perjalanan — ia adalah awal dari perbaikan besar.
Kini tinggal satu pertanyaan penting: apakah PPP berani menjadikan islah ini sebagai titik kebangkitan menuju kejayaan?
Jika jawabannya “ya,” maka sejarah akan mencatat: PPP bangkit dari perpecahan, dan melangkah menuju masa depan dengan semangat Islam moderat yang mencerahkan bangsa.(**)