
Masyarakat modern kini berada dalam situasi yang sangat paradoks. Teknologi semakin maju, informasi semakin mudah diakses, tetapi standar moral dan spiritual dalam menilai kebenaran justru semakin kabur. Kita hidup pada zaman ketika opini amatir sering dipuja, sementara suara para ahli diragukan bahkan dibenci. Fenomena ini bukan sekadar masalah sosial, tetapi gejala mendalam dari krisis epistemik—krisis tentang bagaimana manusia memahami kebenaran. Dalam perspektif religius, krisis ini sesungguhnya adalah krisis adab dan amanah ilmu.
Dalam tradisi agama, kebenaran bukan sesuatu yang lahir dari kebisingan, tetapi dari kedalaman. Ia memerlukan kejujuran hati, kecermatan berpikir, dan ketundukan kepada Tuhan. Lebih dari itu, kebenaran menuntut ketawadhuan untuk belajar dari orang yang ahli, sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur’an:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Ayat ini sederhana tetapi sangat tegas: tidak semua orang berhak berbicara tentang segala hal. Ada adab dalam ilmu. Ada batasan dalam berbicara. Ada tanggung jawab moral dalam menyampaikan kebenaran.
Namun pada era ini, batas-batas itu runtuh. Semua orang merasa dirinya “pakar”, hanya karena pernah membaca satu postingan di internet.
Kebenaran yang Tersingkir oleh Kenyamanan
Dalam dimensi spiritual, manusia memang memiliki kecenderungan mengikuti apa yang membuat hatinya nyaman, bukan apa yang benar. Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an bahwa mayoritas manusia seringkali mengikuti dugaan, bukan ilmu. Dugaan itu manis, menghibur, tetapi menyesatkan.
Fenomena “memilih pendapat amatir karena lebih cocok dengan perasaan” pada dasarnya adalah bentuk modern dari peringatan Al-Qur’an:
“Mereka mengikuti apa yang diingini hawa nafsu mereka, padahal telah datang kepada mereka petunjuk.” (QS. Al-Mu’minun: 71)
Ini adalah gambaran tepat dari krisis yang kita hadapi: kebenaran dikalahkan oleh kenyamanan emosional.
Padahal dalam semua ajaran agama, jalan menuju kebenaran sering kali tidak nyaman. Ia memerlukan kerja keras, kedisiplinan, kesabaran, dan kesediaan untuk menerima hal-hal yang tidak selalu sesuai dengan perasaan kita.
Ketika Suara Semua Orang Sama Kerasnya
Di zaman media sosial, semua suara memiliki panggung yang sama. Video tiga menit seorang amatir dapat memiliki pengaruh jauh lebih besar daripada penelitian puluhan tahun dari seorang ilmuwan. Tidak ada hirarki keilmuan, tidak ada adab, tidak ada penyaringan.
Dalam perspektif religius, ini adalah tanda hilangnya hikmah dan timbang rasa. Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa setiap orang memiliki kedudukan dan kapasitas ilmu yang berbeda. Ada ulama, ada orang awam, ada ahli dalam bidang tertentu. Dalam sebuah hadis beliau bersabda:
“Sampaikanlah sesuatu sesuai dengan kadar pengetahuan mereka.” (HR. Muslim)
Artinya, ilmu bukan arena bebas tanpa struktur. Ada tangga, ada ahli, ada murid, ada guru. Ketika struktur ini runtuh, kebingungan sosial adalah konsekuensi yang tak terelakkan.
Munculnya Ketidakpercayaan terhadap Otoritas Pengetahuan
Rasa tidak percaya terhadap institusi pengetahuan bukan hanya masalah sosial, tetapi juga spiritual. Ketika orang menolak untuk mempercayai ahli, sering kali akar masalahnya bukan logika, melainkan kesombongan batin.
Dalam Islam, kesombongan intelektual—merasa paling tahu padahal tidak tahu—adalah salah satu penyakit hati yang paling berbahaya. Iblis sendiri jatuh bukan karena kurang informasi, tetapi karena kesombongan. Ia merasa dirinya lebih hebat, lebih tahu, lebih layak.
Inilah mengapa fenomena “merasa tahu segalanya setelah membaca sedikit informasi” adalah gejala rohani yang lebih dalam. Orang seperti itu bukan hanya sedang keliru secara ilmiah, tetapi sedang kehilangan tawadhu’, kehilangan kerendahan hati di hadapan ilmu.
Kebingungan Masyarakat: Ketika Ilmu Hilang, Fitnah Mudah Menyebar
Para ulama klasik pernah memperingatkan bahwa ketika ilmu diangkat, masyarakat akan tenggelam dalam fitnah. Nabi Muhammad SAW juga bersabda bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah ketika ilmu dicabut—bukan dengan hilangnya buku, tetapi dengan wafatnya orang-orang berilmu dan digantikannya mereka oleh orang-orang jahil yang memberikan fatwa tanpa ilmu.
Fenomena modern ini mencerminkan hadits tersebut. Di ruang publik, yang paling lantang bukan lagi orang berilmu, tetapi orang-orang yang penuh keyakinan tetapi miskin pengetahuan. Mereka berbicara penuh percaya diri, tetapi perkataannya menyesatkan. Dalam agama, hal semacam ini disebut sebagai dzulmun wa jahlu—kegelapan karena ketidaktahuan.
Mengembalikan Adab dalam Ilmu
Dalam perspektif spiritual, penyembuhan krisis epistemik bukan hanya soal literasi digital, tetapi pemulihan adab. Adab terhadap ilmu, terhadap guru, terhadap proses belajar, dan terhadap kebenaran.
Agar masyarakat kembali sehat secara intelektual dan spiritual, beberapa prinsip religius perlu ditegakkan kembali:
-
Menghargai ahli sebagai amanah Tuhan.
Para ahli ada karena Allah memberi mereka kelebihan ilmu. Menghormati mereka adalah bagian dari menghormati ilmu itu sendiri. -
Membedakan antara pengetahuan dan opini.
Dalam Islam, dzan (dugaan) tidak pernah disamakan dengan ‘ilm (pengetahuan). Yang satu rapuh, yang satu kokoh. -
Mengutamakan kebenaran meski tidak menyenangkan.
Agama mengajarkan bahwa kebenaran sering kali pahit. Tetapi ia adalah penyembuh, bukan racun. -
Membangun kerendahan hati dalam belajar.
Tawadhu’ adalah kunci agar seseorang dapat menerima ilmu tanpa disaring oleh ego. -
Menahan diri dari berbicara tentang hal yang tidak diketahui.
Allah memerintahkan:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya.” (QS. Al-Isra’: 36)
Ini adalah perintah moral dan intelektual sekaligus.
Kembali kepada Cahaya Ilmu
Pada akhirnya, krisis kebenaran di era modern bukan hanya persoalan teknologi atau budaya, tetapi cermin dari kondisi spiritual manusia. Ketika hati lebih memuja kenyamanan daripada kebenaran, maka opini amatir lebih disukai daripada ilmu para ahli.
Padahal, agama selalu mengajarkan bahwa cahaya hanya turun pada orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari kebenaran, bukan pada mereka yang sekadar mencari hiburan pikiran.
Menghargai ahli bukan berarti menutup mata terhadap kesalahan mereka. Tetapi itu adalah bentuk penghormatan terhadap proses panjang: kerja keras, kejujuran intelektual, kesabaran, dan kesediaan merendahkan hati di hadapan ilmu.
Di dunia yang penuh kebisingan, suara para ahli adalah salah satu cahaya yang tersisa. Dan masyarakat yang ingin tetap dekat dengan kebenaran harus kembali kepada cahaya itu—agar tidak tersesat oleh opini yang menyesatkan, betapapun manisnya ia terdengar.






