banner 468x60

Buzzer Politik dan Kebebasan Berekspresi: Ruang Publik Sedang Dirampok? Oleh: Eko Wiratno, Analis EWRC Indonesia

 Opini
banner 468x60
Buzzer Politik dan Kebebasan Berekspresi: Ruang Publik Sedang Dirampok?  Oleh: Eko Wiratno, Analis EWRC Indonesia

 

Jagat digital Indonesia kini bukan lagi pasar gagasan. Ia berubah menjadi arena gladiator, tempat buzzer politik menebas siapa pun yang berani merawat akal sehat. Tidak perlu gelar doktor untuk melihatnya; cukup buka kolom komentar, menyalakan notifikasi, dan kita akan menemukan pasukan anonim yang siap menyerang, menstigmatisasi, lalu menenggelamkan suara yang berbeda.

Fenomena buzzer bukan sekadar drama media sosial. Ia adalah gejala busuk dari ekosistem demokrasi yang dipelihara setengah hati. Kita seolah hidup dalam rezim opini, di mana kebenaran bisa dibeli, dan narasi bisa disulap tergantung siapa yang transfer. Pertanyaannya sederhana: Apa arti kebebasan berekspresi jika publik takut bersuara?

Buzzer bekerja dengan tiga racun: mendiskreditkan kritik, mengglorifikasi tokoh, dan mengalihkan isu. Lihat saja siklusnya. Ketika ada pertanyaan kritis, muncul gerombolan akun anonim menyerang personalitas penanya. Bukan esensi argumen yang dibedah, tetapi karakter yang dicincang. Hasilnya? Publik kapok. Narasi mati sebelum sempat tumbuh. Demokrasi hanya jadi poster lusuh di dinding kelas kewarganegaraan.

Padahal, kebebasan berekspresi dilindungi konstitusi. Tapi jari-jari buzzer bekerja lebih cepat dari pasal-pasal hukum. Mereka menggunakan algoritma sebagai panser, trending topic sebagai tank, dan framing sebagai senjata kimia. Media sosial akhirnya menjadi ladang gas—siapa pun yang berbeda pandangan akan tersedak toksisitas warganet bayaran.

Ironisnya, pemerintah sering berdalih bahwa ruang digital harus dijaga dari ujaran kebencian. Tentu, tidak ada yang salah dengan menjaga etika. Tetapi, ketika definisi “kebencian” menjadi lentur seperti karet gelang, oposisi pun dibungkus stigma. Buzzer memperluas “zona kriminal” hingga semua kritik terasa haram. Kita perlahan menjadi bangsa yang takut mengeluh.

Kita kerap lupa bahwa demokrasi hanya tumbuh dalam pertukaran gagasan. Namun apa jadinya bila ruang publik dikuasai sekelompok klakson politik yang terus membunyikan propaganda? Publik bukan bodoh. Mereka hanya dibanjiri kebisingan. Dalam psikologi massa, ini disebut noise strategy—membanjiri publik dengan informasi sampah agar suara kritis tenggelam.

Di balik semua ini, ada uang. Banyak uang. Industri buzzer adalah ekosistem yang terorganisasi, rapi, dan sistematis. Ada admin, konsultan, agensi, bahkan “dapur perintah” yang menentukan siapa yang harus diserang hari ini. Demokrasi yang ideal? Lupakan. Yang kita miliki adalah otomatisasi sentimen.

Lebih parah lagi, beberapa lembaga negara seperti kehabisan daya legitimasi. Mereka diam atau justru ikut memproduksi narasi. Kita dibuat bingung—mana informasi resmi, mana propaganda algoritmik. Warga yang sekadar bertanya justru dicurigai sebagai simpatisan kubu tertentu. Demokrasi berubah menjadi tribalisme digital.

Yang lebih menyedihkan, generasi muda—yang katanya melek internet—ikut terseret dalam pusaran ini. Mereka menjadi tentara keyboard yang gelagapan memahami substansi. Semua orang mendadak ahli politik karena punya akun TikTok. Semua merasa paham regulasi hanya karena pernah menonton potongan video 19 detik.

Sementara itu, negara diam-diam bertransformasi. Dari republik partisipatif menuju republik reaktif. Kritik tidak dijawab dengan data, tapi dengan balasan sarkas. Gagasan tidak dibantah dengan argumen, tapi dibungkam dengan rasa malu. Ini berbahaya, karena demokrasi mati bukan dengan kudeta, tetapi melalui tepuk tangan panjang dan spam komentar.

Lalu, apa solusinya? Pertama, transparansi pendanaan digital. Siapa membiayai gerakan buzzer? Jelaskan. Kedua, literasi digital berbasis etika, bukan sekadar teknis. Ketiga, penguatan perlindungan terhadap pelapor, pengkritik, dan whistleblower. Ruang publik tidak boleh hanya aman bagi mereka yang pro.

Keempat, platform media sosial harus memiliki due diligence terhadap orkestrasi serangan digital. Jangan biarkan troll farm menjelma menjadi cabang kekuasaan informal. Kelima, media harus kembali menjadi benteng terakhir, bukan sekadar pabrik clickbait yang memperbesar polarisasi demi trafik.

Pada akhirnya, pertanyaannya tidak lagi tentang buzzer. Ini tentang hak setiap warga untuk memiliki opini tanpa rasa takut. Demokrasi yang sehat bukan diukur dari banyaknya akun pendukung, tetapi dari keberanian mendengarkan suara yang tidak kita suka.

Jika ruang publik terus diganggu, dirampok, dan dipenuhi racun, kita tidak sedang menuju kemajuan. Kita sedang masuk ke abad kegelapan versi digital, di mana pikiran manusia dikendalikan bukan oleh senjata, tetapi oleh notifikasi.

Dan ketika suatu bangsa tidak lagi berani berbeda pendapat, maka kehancuran paling mematikan sudah dimulai: kebebasan tak lagi terasa penting.(**)

banner 468x60

Author: 

Related Posts

Tinggalkan Balasan