
Pendahuluan
Bayangkan sejenak. Anak-anak Muslim di era ini bisa dengan lancar menyanyikan lagu viral TikTok, hafal nama artis Korea, bahkan hafal cheat game di ponsel mereka. Tapi ketika ditanya: “Nak, coba bacakan surat Al-Fatihah dengan tartil”, mereka terbata-bata, salah panjang pendek, bahkan ada yang tidak bisa.
Ini realita pahit. Anak-anak kita lebih hafal lirik hiburan duniawi ketimbang ayat-ayat suci yang seharusnya menjadi pedoman hidup mereka. Pertanyaannya: salah siapa? Apakah anak-anak yang polos? Orangtua yang lalai? Atau masyarakat yang lebih sibuk mengurus dunia hingga lupa menyiapkan bekal akhirat untuk generasi?
Allah SWT telah memberi peringatan keras:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (QS. At-Tahrim: 6)
Ayat ini bukan sekadar hiasan kaligrafi di dinding mushola. Ia adalah perintah tegas: jagalah anak-anakmu dengan pendidikan iman dan Qur’an. Jika kita gagal, berarti kita sedang menyiapkan generasi yang siap menjadi bahan bakar neraka. Na’udzubillahi min dzalik.
Maka, terbentuknya TPQ Al-Ikhlash Griya Bumi Boyolali bukan hanya sebuah acara seremonial. Ia adalah jihad pendidikan, benteng terakhir di tengah banjir hedonisme, gadget, dan budaya permisif. TPQ ini bukan sekadar tempat anak-anak mengeja huruf hijaiyah. Ia adalah medan pertempuran peradaban — apakah generasi kita akan hidup dengan cahaya Al-Qur’an, atau tenggelam dalam gelapnya kebodohan dan kelalaian?
Urgensi Pendidikan Qur’an
Islam meletakkan pendidikan Qur’an sebagai pondasi utama peradaban. Tanpa Qur’an, semua pencapaian duniawi hanyalah fatamorgana. Kita boleh bangga anak-anak kita juara olimpiade matematika, juara lomba robotik, bahkan diterima di universitas ternama. Tapi kalau mereka tidak bisa membaca Al-Qur’an, tidak mengenal Tuhannya, apalah arti semua itu?
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’: 9)
Ayat ini menegaskan: hanya dengan Al-Qur’an manusia bisa mendapat petunjuk hidup. Maka jika anak-anak kita jauh dari Al-Qur’an, itu berarti kita sedang membiarkan mereka tersesat di jalan hidupnya.
Rasulullah SAW juga menegaskan dalam sabdanya:
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Pertanyaannya: maukah kita jadi sebaik-baik umat, atau justru menjadi generasi yang hanya mengejar dunia tapi lupa Al-Qur’an?
Pendidikan Qur’an Adalah Benteng Moral
Di tengah derasnya arus digital, anak-anak dengan mudah membuka konten apa pun. Video lucu, game, bahkan tontonan yang merusak akhlak. Tanpa benteng Qur’an, jiwa mereka akan rapuh.
Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini adalah tamparan keras. Anak lahir suci, tapi lingkungan dan pendidikanlah yang membentuknya. Jika orangtua lalai, jika masyarakat abai, maka jangan salahkan anak-anak ketika mereka tumbuh tanpa arah.
TPQ sebagai Amanah Kolektif
Pendidikan Qur’an bukan hanya tugas ustadz atau ustadzah. Ia adalah amanah seluruh masyarakat. Allah SWT berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Mendirikan TPQ adalah wujud nyata dari amar ma’ruf. Mengabaikan TPQ sama saja membiarkan kemungkaran merajalela dalam sunyi.
TPQ Sebagai Perlawanan Peradaban
Hari ini kita hidup di zaman yang aneh. Anak-anak Muslim bisa berjam-jam menatap layar gawai, tapi lima menit membuka mushaf terasa berat. Mereka bisa menghafal lirik lagu luar kepala, tapi melafalkan surat Al-Fatihah saja sering keliru. Orangtua sibuk mengejar karier, sibuk nongkrong, sibuk update status, tapi lupa kewajiban paling utama: mendidik anak dengan iman.
Padahal Rasulullah SAW sudah memberi peringatan keras:
“Tidaklah seorang hamba yang Allah jadikan sebagai pemimpin (orangtua, pemimpin, guru), lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya (keluarganya), kecuali Allah haramkan baginya surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini artinya, orangtua yang abai, masyarakat yang lalai, bisa kehilangan surga karena membiarkan generasi tumbuh tanpa cahaya Qur’an.
Mushola Harus Hidup
Mushola bukan sekadar tempat salat lima menit lalu sepi. Mushola harus hidup. Ia harus menjadi pusat peradaban Qur’ani, tempat anak-anak belajar iman, adab, dan Al-Qur’an. Jika mushola hanya ramai saat tarawih atau pengajian sesekali, maka mushola itu gagal menjalankan fungsinya.
Alhamdulillah, Mushola Al-Ikhlash kini hidup dengan hadirnya TPQ. Anak-anak yang setiap sore mengaji adalah tanda bahwa mushola ini bukan sekadar bangunan fisik, tapi sumber cahaya bagi lingkungan Griya Bumi Boyolali.
Allah SWT berfirman:
“Allah (pemberi) cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar…” (QS. An-Nur: 35)
TPQ adalah pelita itu. Ia kecil, sederhana, tapi sinarnya bisa menerangi hati-hati anak dan orangtua.
Melawan Banjir Hedonisme
Kita tidak bisa menutup mata. Budaya hedonisme semakin menguasai masyarakat. Televisi, media sosial, game online, iklan, semua mengajarkan gaya hidup konsumtif dan penuh syahwat. Tanpa benteng, anak-anak kita hanyalah korban.
Maka TPQ bukan sekadar kelas mengaji. Ia adalah benteng peradaban, perlawanan nyata terhadap arus besar yang berusaha menjauhkan umat Islam dari Al-Qur’an.
Rasulullah SAW bersabda:
“Islam datang dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing itu (ghuraba).” (HR. Muslim)
Hari ini, mendirikan TPQ, mengajarkan Qur’an, bahkan sekadar mengajak anak-anak mengaji sudah dianggap asing. Tapi justru dalam keasingan itulah letak kemuliaannya.
Sindiran untuk Orangtua & Masyarakat yang Lalai
Mari kita jujur: banyak orangtua hari ini lebih rela membelikan anaknya HP mahal daripada membiayai les Qur’an. Mereka rela antri panjang demi tiket konser, tapi malas mengantar anaknya ke mushola. Mereka bangga ketika anaknya bisa berbahasa Inggris fasih, tapi tidak peduli ketika anaknya terbata-bata membaca huruf hijaiyah.
Padahal Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu…” (QS. At-Tahrim: 6)
Ini ayat yang sangat jelas. Orangtua diperintahkan melindungi keluarganya dari api neraka, bukan sekadar membelikan fasilitas dunia. HP, gadget, pakaian keren, motor, mobil—semua itu tidak ada nilainya di hadapan Allah kalau anak-anak kita jauh dari Qur’an.
Orangtua yang Lalai = Penghancur Generasi
Rasulullah SAW bersabda:
“Cukuplah seseorang dikatakan berdosa apabila ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Al-Hakim)
Siapa yang menjadi tanggungan utama? Anak-anak kita. Maka orangtua yang membiarkan anaknya tumbuh tanpa Qur’an adalah penghancur generasi. Mereka adalah penyebab lahirnya anak-anak yang pintar secara akademik tapi kosong secara akhlak.
Apakah kita rela punya anak yang sukses dunia tapi gagal di akhirat?
Masyarakat yang Acuh = Pecundang
Tak hanya orangtua, masyarakat pun sering bersikap acuh. Ada mushola, tapi dibiarkan sepi. Ada ustadz yang mau mengajar, tapi tidak didukung. Ada TPQ, tapi dianggap hanya kegiatan biasa.
Padahal Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)
Artinya, mendukung TPQ, walau hanya dengan doa, infak, atau sekadar mengantar anak ke mushola, itu sudah mendapat pahala besar. Lalu kenapa kita masih pelit mendukungnya?
Sindiran untuk Kita Semua
Mari kita bertanya pada diri sendiri:
-
Berapa jam anak-anak kita habiskan untuk bermain HP dibandingkan dengan mengaji Qur’an?
-
Berapa uang kita habiskan untuk hiburan dibandingkan untuk infak mushola?
-
Berapa kali kita hadir di mushola dibandingkan nongkrong di kafe atau nonton TV?
Jika jawabannya lebih condong ke dunia, maka jangan salahkan siapa pun kalau generasi kita menjadi generasi lemah, mudah dikendalikan budaya asing, dan kehilangan identitas Islam.
TPQ Al-Ikhlash Sebagai Simbol Kebangkitan Umat
Sejarah Islam selalu dimulai dari pendidikan dasar. Rasulullah SAW membangun peradaban Islam bukan dari istana megah, bukan dari pasar, tapi dari Dar Al-Arqam, sebuah rumah sederhana yang dijadikan tempat belajar Al-Qur’an. Dari sanalah lahir generasi sahabat yang mengguncang dunia.
TPQ Al-Ikhlash di Griya Bumi Boyolali mungkin tampak kecil, hanya mushola sederhana dengan puluhan santri, tapi siapa tahu dari sini lahir kader-kader umat yang kelak menjadi pejuang Islam, ulama, bahkan pemimpin bangsa.
Allah SWT berfirman:
“Perumpamaan orang-orang yang diberi beban Taurat, tetapi mereka tidak memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal…” (QS. Al-Jumu’ah: 5)
Ayat ini mengingatkan: jangan sampai umat Islam punya mushaf Qur’an, punya mushola, punya TPQ, tapi tidak memikul amanahnya. TPQ Al-Ikhlash hadir untuk memastikan Qur’an benar-benar dipikul, dipelajari, dan diamalkan.
Kebangkitan yang Dimulai dari Anak-anak
Banyak orang berpikir kebangkitan umat dimulai dari politik, ekonomi, atau teknologi. Padahal kunci utamanya adalah anak-anak yang dekat dengan Qur’an. Mereka inilah yang kelak menjaga masyarakat dari kehancuran moral.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sungguh Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan kitab ini (Al-Qur’an), dan merendahkan kaum yang lain dengan sebab kitab ini pula.” (HR. Muslim)
Artinya, kalau anak-anak kita menguasai Qur’an, umat ini akan terangkat. Tapi kalau mereka jauh dari Qur’an, maka kehinaanlah yang akan menimpa.
TPQ Al-Ikhlash: Titik Balik
Kehadiran TPQ Al-Ikhlash adalah titik balik. Ini bukan sekadar kegiatan sore, tapi pernyataan tegas: “Kami tidak rela generasi kami buta Qur’an.”
Setiap huruf yang dibaca santri, setiap doa yang dipanjatkan ustadz, setiap langkah orangtua mengantar anaknya ke mushola, semuanya adalah energi kebangkitan umat.
Dari Mushola ke Peradaban
Mushola yang dulu hanya tempat salat, kini menjadi pusat peradaban kecil. Dari sini lahir interaksi sosial, gotong royong, dan solidaritas. Orangtua bertemu, ustadz membimbing, anak-anak belajar—semuanya terikat dalam tali iman.
Inilah miniatur masyarakat Qur’ani. Jika di setiap kampung ada mushola hidup dengan TPQ, maka tak lama lagi bangsa ini akan bangkit dari keterpurukan moral.
Harapan & Tantangan ke Depan
Mendirikan TPQ itu baru langkah awal. Tantangan yang lebih berat justru datang setelahnya: bagaimana menjaganya tetap hidup, berkembang, dan berpengaruh. Banyak TPQ di berbagai tempat yang semangat di awal, tapi mati suri setelah beberapa bulan karena minim dukungan.
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu lemah dan janganlah kamu bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 139)
Ayat ini memberi motivasi bahwa TPQ Al-Ikhlash harus tetap optimis, meski banyak tantangan yang akan menghadang.
Harapan Besar untuk TPQ Al-Ikhlash
-
Melahirkan Generasi Qur’ani
Harapan utama adalah agar setiap anak di Griya Bumi Boyolali bisa membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an. Bukan sekadar pandai akademik, tapi kokoh iman dan akhlaknya. -
Mushola sebagai Pusat Peradaban
Mushola Al-Ikhlash diharapkan tidak hanya menjadi tempat salat, tapi pusat pembinaan akhlak, diskusi keagamaan, bahkan tempat lahirnya gerakan sosial yang Islami. -
Kolaborasi Umat
Harapan lain adalah agar orangtua, masyarakat, bahkan pemerintah ikut mendukung penuh. Karena TPQ bukan sekadar urusan takmir, tapi urusan seluruh umat.
Tantangan yang Mengintai
-
Lalai dari Orangtua
Banyak orangtua yang semangat di awal, tapi kemudian malas mengantar anaknya, atau lebih sibuk dengan gadget dan urusan dunia. Jika ini terjadi, TPQ bisa sepi santri. -
Minim Dukungan Finansial
Ustadz dan ustadzah sering mengajar dengan ikhlas tanpa imbalan. Tapi kita harus sadar: mereka juga manusia yang punya kebutuhan. Jika umat tidak peduli, semangat pengajar bisa melemah. -
Arus Budaya Digital
Gadget, game online, dan media sosial adalah saingan berat TPQ. Anak-anak lebih suka bermain HP daripada membaca Qur’an. Jika tidak ada strategi kreatif, TPQ bisa kalah oleh dunia digital. -
Kurangnya Rasa Kepemilikan
Jika masyarakat menganggap TPQ hanya milik takmir atau pengurus mushola, maka semangat kebersamaan akan hilang. Padahal TPQ adalah milik bersama.
Jalan Keluar
Semua tantangan ini bisa dihadapi jika umat kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah. Rasulullah SAW bersabda:
“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat: (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik)
Inilah kunci: TPQ harus terus berpegang pada Qur’an dan Sunnah, bukan sekadar kegiatan formalitas.
Penutup
TPQ Al-Ikhlash bukan sekadar kelas mengaji. Ia adalah medan jihad. Jihad melawan kebodohan, jihad melawan kelalaian orangtua, jihad melawan arus digital yang menjerumuskan, jihad melawan budaya hedonisme yang merusak akhlak.
Allah SWT berfirman:
“Dan berjihadlah kamu dengan sebenar-benarnya jihad di jalan Allah. Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama…” (QS. Al-Hajj: 78)
Jihad hari ini tidak selalu dengan pedang. Jihad hari ini adalah dengan pena, mushaf, dan suara anak-anak yang melafalkan ayat-ayat Qur’an. Inilah jihad yang damai, tapi dampaknya jauh lebih besar daripada sekadar perang: ia menyelamatkan generasi dari kehancuran.
TPQ Al-Ikhlash, Cahaya Perlawanan
Di saat sebagian orangtua sibuk mengejar dunia, TPQ ini berdiri sebagai cahaya yang menyinari Griya Bumi Boyolali. Dari mushola sederhana ini lahir harapan besar: generasi Qur’ani yang tidak hanya pintar secara akademik, tapi juga kuat akidahnya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang mengajarkan satu ayat dari Kitabullah, maka baginya pahala yang terus mengalir selama ayat itu dibaca.” (HR. Tirmidzi)
Bayangkan, setiap huruf yang dibaca santri Al-Ikhlash akan mengalirkan pahala bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk ustadz, orangtua, bahkan seluruh masyarakat yang mendukung.
Jangan Jadi Penonton
Sekarang pilihannya jelas: kita mau jadi pejuang atau penonton? Mau ikut berjihad dalam pendidikan Qur’an, atau hanya melihat dari jauh sambil terus sibuk dengan dunia?
Orangtua yang tidak mendukung TPQ sama saja menelantarkan anaknya. Masyarakat yang tidak peduli sama saja membiarkan generasi binasa. Jangan salahkan pemerintah, jangan salahkan zaman, kalau kita sendiri tidak mau bergerak.
BOYOLALI, 16/09/2025
Author: arwiranew
Related Posts

“Menang Bukan Karena Keras Bicara, Tapi Karena Tahu Kapan Diam”

Infrastruktur Pertanian Modern: Investasi atau Beban Baru untuk Petani Kecil? Oleh DWI SUCI LESTARIANA Dosen Agroteknologi UBY dan Direktur Eksekutif EWRC Indonesia

Pasca Islah PPP, Momentum Kebangkitan Partai Islam Moderat Oleh: Eko Wiratno, Pendiri EWRC Indonesia

Pro dan Kontra Peristiwa G30S/PKI di Indonesia oleh Eko Wiratno, Pendiri EWRC Indonesia


