
Korupsi tidak akan pernah benar-benar hilang jika hanya diperlakukan sebagai masalah hukum semata. Akar persoalannya lebih dalam: berasal dari mentalitas masyarakat yang dibentuk oleh budaya, kebiasaan, dan pola pikir kolektif. Ketika hukum menekankan hukuman, tetapi masyarakat tetap permisif terhadap praktik curang, korupsi akan selalu menemukan cara untuk bertahan.
Samuel P. Huntington dalam Corruption: A Study in Political Economy (1978) menegaskan bahwa korupsi bukan sekadar penyimpangan, tetapi cerminan adaptasi masyarakat terhadap perubahan sosial. Mentalitas korup muncul ketika budaya dan struktur politik tidak selaras, sehingga individu cenderung memilih jalan pintas ketimbang mekanisme resmi.
Keseharian menunjukkan praktik ini: mahasiswa memberi hadiah kepada dosen bukan karena tulus, tetapi berharap nilai lebih baik; pengusaha mengundang pejabat untuk mendapat perlakuan istimewa. Ini membuktikan bahwa korupsi tidak hanya terjadi di meja pengadilan, tapi juga dalam relasi sosial sehari-hari.
Huntington menekankan bahwa inti korupsi ada pada sikap mental yang menoleransi praktik tersebut. Misalnya, memberi “uang terima kasih” dianggap wajar, bukan korupsi. Pola pikir ini menciptakan siklus berbahaya, di mana pejabat menunggu gratifikasi sebelum bekerja sesuai kewajibannya.
Contoh lain ada di layanan publik: seseorang bisa mengurus dokumen lebih cepat dengan sedikit “amplop”, dan merasa cara itu efektif. Orang lain meniru, sehingga jalur pintas menjadi standar, sedangkan prosedur resmi dianggap sia-sia. Mentalitas kolektif seperti ini melanggengkan korupsi lebih kuat daripada ancaman hukuman.
Masalah semakin kompleks ketika mentalitas permisif bertemu kelemahan institusi. Hukum bisa diperketat, tetapi jika masyarakat tetap mencari jalan pintas, celah akan selalu ada. Perubahan hanya mungkin jika ada kesadaran bersama bahwa integritas harus dihargai, bukan dianggap naif.
Pertanyaan penting: apakah kita benar-benar ingin memberantas korupsi, atau hanya ingin membuatnya terlihat lebih “rapi”? Selama mentalitas permisif dianggap normal, korupsi tidak akan hilang, hanya berganti bentuk.
Apakah menurutmu pemberantasan korupsi di Indonesia cukup mengandalkan hukum, atau harus dimulai dari perubahan mentalitas masyarakat?
7 Teori yang Relevan tentang Korupsi:
-
Teori Huntington – Korupsi sebagai Adaptasi Sosial
Korupsi muncul sebagai respons masyarakat terhadap ketidakselarasan antara struktur politik dan budaya. -
Teori Institusional Douglas North
Institusi menentukan perilaku; kelemahan institusi memberi ruang bagi praktik korupsi. -
Teori Moral dan Etika (Ethical Theory)
Korupsi terkait dengan norma sosial dan nilai moral yang dianut masyarakat; integritas kolektif mencegah praktik curang. -
Teori Ekonomi (Principal-Agent Theory)
Korupsi terjadi ketika ada asimetri informasi antara pemegang kekuasaan (agent) dan masyarakat (principal), dan peluang pengawasan rendah. -
Teori Budaya (Cultural Theory of Corruption)
Praktik korupsi dibentuk oleh budaya yang menormalisasi gratifikasi atau “jalan pintas”. -
Teori Siklus Korupsi (Cycle of Corruption Theory)
Korupsi bersifat self-reinforcing; jika mentalitas permisif berlaku, korupsi akan menular dan menjadi standar. -
Teori Hukum dan Efektivitas Sanksi (Deterrence Theory)
Hukuman efektif hanya jika dipadukan dengan budaya kepatuhan; hukum tanpa perubahan mentalitas tidak cukup.(**)






