
Ditemukannya mesin cetak oleh Mr. Gutenberg pada 1440 M di negara Jerman yang berada di Benua Eropa merupakan tonggak bagi sejarah perbukuan dunia. Mulanya mesin itu digunakan untuk keperluan penggandaan dan penyebaran Injil. Tapi kemudian berkembang tidak hanya buku keagamaan tetapi juga buku-buku pengetahuan, sastra, dan lain sebagainya. Di Indonesia sendiri buku mulai beredar seiring dengan datangnya orang asing, terutama Belanda, ke Indonesia pada jaman dahulu.
A. Masa Sebelum Penjajahan
Sejarah tentang penerbitan buku di Indonesia tak bisa dilepaskan dari budaya tulis yang ada di kawasan nusantara waktu itu. Bangsa kita telah mengenal buku setidaknya sejak abad 14 M. Pada masa itu khazanah perbukuan masih berupa naskah-naskah yang ditemukan dalam bentuk buku maupun kumpulan lembaran daun lontar yang ditulis tangan. Materi yang ditulis pun beragam mulai dari naskah resmi kerajaan (perjanjian, keputusan raja), karya sastra, babad (sejarah), hingga ayat-ayat suci dan lain-lain. Beberapa buku tersebut antara lain yang terkenal diantaranya kitab Sutasoma karya Mpu Tantular dan Nagarakertagama karya Mpu Prapanca pada abad 14. Kemudian pada abad 16 mulai muncul penulisan kitab-kitab agama Islam di bidang fikih, tasawuf, teologi, dan etika untuk digunakan sebagai bahan ajar di pesantren yang tersebar di nusantara, terutama di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra.
B. Masa Penjajahan
- Penjajahan Belanda
Pada abad 17 VOC mendatangkan mesin cetak ke Hindia Belanda. Ini menjadi awal bagi dunia percetakan di tanah air. Dengan mesin cetak tersebut VOC mencetak berbagai macam publikasi mulai dari pamphlet, brosur, koran dan majalah. Pada tahun 1744 VOC menerbitkan surat kabar Bataviaasche Nouvelles (BN) di Batavia. Kemudian pada tahun 1778 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Bataviaash Genootschaap vor Kunsten en Watenschappen, perpustakaan yang berisi koleksi naskah dan karya tulis di bidang budaya dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Pada waktu itu budaya membaca hanya dimiliki oleh kaum penjajah, bangsawan, pemuka agama, dan sedikit kaum terpelajar yang bisa membaca waktu itu.
Sejak Hindia-Belanda dikembalikan oleh Inggris tahun 1812, percetakan (dalam hal ini surat kabar) dikendalikan sepenuhnya oleh negara, meski perusahaan percetakannya berlokasi di negeri Belanda. Pada saat yang sama percetakan buku juga dikelola oleh pihak swasta, dimulai pada tahun 1839, dipelopori oleh Cijveer & Company. Tiga tahun berselang, percetakan ini berubah nama menjadi Cijveer & Knollaert. Ia berpindah tangan lagi ke Ukeno & Company, dan terus berpindah tangan karena kegagalan dalam pemasaran produknya. Baru pada masa Bruyning Wijt, perusahaan percetakan buku ini mengalami kemajuan, karena produk buku-buku mereka mulai dipublikasikan pula melalui iklan-iklan di surat kabar waktu itu.
Misi agama juga mempelopori pencetakan buku atau kitab suci. Zending (surat pekabaran Injil) Protestan dilaporkan pertama kali datang ke Indonesia tahun 1831, dan mendirikan sekolah di Tomohon, Minahasa, pada tahun 1850. Di sini mereka mencetak buku, selebaran, dan surat kabar yang menjadikan semakin dikenal masyarakat waktu itu.
Pada akhir abad 19, terutama di Pulau Jawa, tumbuh penerbit dan percetakan milik orang Tionghoa peranakan dan Indo-Eropa yang menerbitkan sekitar 3000 judul buku, pamflet, dan terbitan lainya sebelum kemerdekaan. Terbitan mereka terutama buku-buku cerita dalam bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu pasar. Mereka juga menerbitkan koran yang tumbuh subur. Salah satu penerbitan milik orang Tiong Hoa yang tercatat adalah milik Tan Khoen Swie dengan nama sama dengan pemiliknya di Kediri. Sebagaimana dilaporkan majalah Tempo, penerbit Tan Khoen Swie ini pernah menerbitkan buku Gatolotjo dan Dharmagandoel yang pernah dilarang beredar pada masa Orde Baru karena dianggap melecehkan ajaran agama tertentu. Sementara percetakan milik Indo-Eropa sebagian besar menerbitkan karya-karya terjemahan dari Eropa ke dalam bahasa Melayu.
Penerjemahan novel-novel Eropa ke dalam bahasa Melayu telah dimulai kira-kira pada seperempat terakhir abad ke-19. Menurut Doris Jedamski, The Count of Monte Cristo karya Alexandre Dumas telah beredar luas dalam bahasa Melayu pada tahun 1894 sampai 1899. Penerjemahan ini mendapat sukses besar di kalayak pembaca bumiputra (Arsya, 2012). Beberapa dekade sebelum itu, novel-novel Eropa lainnya seperti Robinson Crusoe dan Sherlock Holmes juga telah diterjemahkan dan diterbitkan terjemahannya oleh penerbit-penerbit swasta. Robinson Crusoe diterjemahkan dalam bahasa Melayu dengan judul Hikajat Robinson Crusoe yang terbit pada tahun 1875 oleh seorang Belanda bernama Adolf von de Wall.
Perkembangan karya-karya terjemahan terus membaik pada waktu itu. Masih menurut Doris Jedamski, pada seperempat pertama abad ke-20, pembaca-pembaca Indonesia sudah bisa membaca The Three Musketeers, Scralet Pimpernel, Ivanhoe, Tarzan, Sinbad, dan Gulliver, serta pahlawan-pahlawan Karl May dan Baron Munchhausen dalam bahasa Melayu. Segera saja karya-karya terjemahan ini dapat ditemukan hampir di seluruh kepulauan. Penerjemahan dan penerbitan karya-karya terjemahan pada awal abad ke-20 ini, berbeda dengan masa sebelumnya, dilakukan oleh orang-orang Indo China dan orang-orang bumiputra sendiri di luar afiliasi pemerintah kolonial.
Sastra Melayu Tionghoa mulai berkembang jauh sebelum didirikannya Balai Pustaka pada tahun 1918. Golongan Tionghoa yang hidup lebih makmur dibandingkan golongan bumiputra, mampu membeli buku dan membayar langganan koran dan majalah secara teratur. Pada zaman Jepang pers Melayu-Tionghoa dihapus. Beberapa bumiputra yang magang di penerbitan milik Tionghoa ini kemudian tumbuh sebagai jurnalis dan penerbit sekaligus, antara lain RM Tirtoadisoerjo dan Mas Marco Katrodikromo, yang dikenal dengan bukunya Student Hidjo.
Tahun 1906, pemerintah kolonial mengubah peraturan sensor barang terbitan. Sebelumnya, setiap penerbit harus menyerahkan naskah mereka kepada penguasa sebelum dicetak. Peraturan baru menerapkan sensor represif, yakni menindak dan membatasi barang cetakan setelah diedarkan. Ini menimbulkan akibat positif berupa maraknya berbagai terbitan, termasuk buku dan majalah pada waktu itu.
- Pembentukan Balai Pustaka
Meskipun dunia perbukuan dan penerbitan buku terus berkembang dengan pesat pada waktu itu, tonggak penerbitan buku secara masal baru terjadi tahun 1908 dengan pembentukan Commissie Voor de Inlandsche Chool en Voklslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) melalui keputusan pemerintah No 12 tanggal 14 Sepetember 1908. Kemunculan Komisi Bacaan Rakyat tersebut salah satunya karena pemerintah kolonial menganggap novel-novel terjemahan dari kalangan Indo-China dan bumiputra rendah mutunya, karya populer picisan yang bisa merusakkan mental bumiputra.
Pada tahun 1917 komisi ini berganti nama menjadi Balai Poestaka dan mulai mencetak ratusan karya, mulai dari buku dalam berbagai bahasa. Puluhan karya sastra pribumi berbahasa Melayu terbit, seperti Siti Noerbaja karya Marah Rusli, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Salah Asuhan-Abdul Muis, Lajar Terkembang – Sutan Takdir Alisjahbana, Atheis – Achdiat Kartamihardja, dan masih banyak yang lainnya. Setelah empat tahun pendiriannya, Balai Pustaka memiliki mesin cetak sendiri untuk keperluan seluruh terbitannya, sehingga tidak bergantung kepada pihak lain lagi.
Namun, setelah maraknya penerjemahan karya asing pada perempat pertama abad ke-20 itu, Balai Pustaka mulai melakukan penerjemahan-penerjemahan novel-novel Eropa ke dalam bahasa Melayu. Karya-karya yang diterjemahkan Balai Pustaka berbeda dengan karya terjemahan penerbit-penerbit di luar kanon yang lebih banyak menerbitkan cerita-cerita detektif, kisah-kisah kepahlawanan, dan roman-roman populer lainnya. Penerjemahan novel-novel asing ini berimbas kepada perkembangan kesastraan di tanah Hindia sendiri. Pada dekade tahun 1930-1940, muncul dengan semarak roman-roman picisan di berbagai kantong-kantong kesastraan di daerah. Menurut Soedarmoko, di Padang, Medan, Bukittingi, Gorontalo, Solo, muncul terbitan-terbitan berkala yang memuat roman-roman picisan. Roman-roman ini dianggap berada di luar kanon kesastraan Hindia Belanda (Arsya, 2012).
Roman-roman ini pada umumnya memiliki kesamaan tema garapan dan plot atau alur narasi dengan kebanyakan novel-novel terjemahan di atas. Cerita-cerita kepahlawanan dan detektif adalah warna umum dari roman-roman picisan ini yang nampaknya diadopsi oleh karya-karya terjemahan. Hal tersebut tidak terjadi tanpa sebab. Pada masa itu pemerintah kolonial Belanda menerapkan aturan yang ketat terhadap seluruh buku dan barang cetakan yang beredar di masyarakat. Sebagai lembaga buatan Hinda Belanda, tidaklah mengherankan jika buku-buku terbitan Balai Pustaka tidak ada yang memuat masalah politik apalagi kritik terhadap pemerintah Hindia Belanda. Dominasi Balai Pustaka berdampak pada tersingkir-nya karya-karya sastra dari penulis pribumi, peranakan Tionghoa, dan Indo-Eropa yang sudah beredar jauh sebelum Balai Pustaka beredar.
Selain Balai Pustaka milik pemerintah kolonial, ada juga penerbitan milik kaum bumiputra dengan berdirinya NV Javasche Boekhandel en Drukkerrij en Handel in Schrijfbehoeften “Medan Prijaji” pimpinan R.M. Tirto Adhi Soerjo. Selain itu ada juga percetakan Insulinde yang didukung oleh H.M. Misbach yang menerbitkan Mata Gelap (Mas Marco, 3 jilid, 1914) dan percetakan VTSP (Serikat Buruh Kereta Api dan Tram) yang menerbitkan Koran Si Tetap (Yusuf et.al. 2010).Penerbit-penerbit milik kaum bumiputra tersebut memelopori bacaan fiksi dan nonfiksi untuk mendidik bumiputra. Sehingga dalam kurun waktu 1920-1926 mulai menjamur ‘bacaan liar’ di kalangan bumiputra yang me-numbuhkan semangat pergerakan untuk mencapai tujuan kemerdekaan dari belenggu penjajah pada waktun itu.
- Penjajahan Jepang
Sementara itu pada masa pendudukan Jepang waktu itu, menurut sejarawan Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993), penerbitan buku dan seluruh jenis media yang ada digunakan oleh tentara Jepang untuk kepentingan propaganda. Sehingga seluruh karya yang dihasilkan pada saat itu harus sesuai dengan kepentingan propanda Jepang. Pada masa itu surat kabar berbahasa Belanda, Cina, dan Indonesia dilarang terbit oleh pemerintah militer Jepang. Surat kabar Tjahaya Timoer yang mencoba kritis pada pemerintah Jepang langsung dibredel. Selanjutnya diganti oleh Jepang dengan menerbitkan surat kabar Asia Raja. Pada 8 Desember 1942 Jawa Shinbun sebagai surat kabar berbahasa Jepang terbit untuk pertama kalinya. Dua surat kabar itulah yang menjadi rujukan berita bagi surat kabar-surat kabar di Pulau Jawa waktu itu.
C. Era Kemerdekaan
Hingga 1950 industri penerbitan buku Indonesia didominasi oleh Balai Pustaka disamping mulai munculnya penerbit buku nasional seperti Pustaka Antara, Pustaka Rakyat (sekarang Dian Rakyat), Endang, dan beberapa lagi yang semuanya berpusat di Jakarta, Ganaco di Bandung dan lain-lain. Balai Pustaka pasca kemerdekaan hingga tahun 1950 berhasil menerbitkan dan mencetak ulang 128 judul buku dengan tiras 603.000 ekslempar. Pada saat ini pula muncul karya-karya sastra dari para penulis seperti Idrus dengan Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma; Tambera karya Utuy Tatang Sontani; Pramudya Ananta Toer dengan Dia Jang Menjerah dan Bukan Pasar Malam; Mochtar Lubis dengan Si Djamal. Selain karya anak negeri, BP juga menghadirkan karya para penulis dunia seperti Fyodor Dostojevsky, John Steinbeck, Anton Chekov, dan lainnya. Di masa sekarang, penerbit Balai Pustaka rata-rata memprroduksi buku sebanyak 320 judul pertahun, dengan porsi terbesar buku yang cetak ulang dari tahun sebelumnya.
a. Orde Lama (Orla)
Tahun 1950-an adalah periode kemunculan penerbit swasta nasional. Sebagian besar berada di pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka bermotif politis dan idealis. Mereka tergerak untuk mengambil alih dominasi para penerbit Belanda yang setelah penyerahan kedaulatan di tahun 1950 masih diijinkan beroperasi di Indonesia.
Pemerintah orde lama waktu itu mendirikan Yayasan Lektur. Yayasan tersebut memiliki dua fungsi utama yaitu untuk mengatur bantuan pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku. Dengan adanya yayasan ini, pertumbuhan dan perkembangan penerbitan nasional dapat meningkat dengan pesat. Perkembangan industri penerbitan buku, telah mendorong pendirian Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada 17 Mei 1950 yang pada waktu itu hanya beranggota 13 penerbit.
Pada tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia meng-ambil alih dan menasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia. Kemudian pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha penerbitan buku nasional dengan jalan memberi subsidi dan bahan baku kertas bagi para penerbit buku nasional sehingga penerbit diwajibkan menjual buku-bukunya dengan harga murah. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) penerbit yang menjadi anggota IKAPI yang semula berjumlah 13 melonjak naik menjadi 600-an lebih. Lagi-lagi sebagian besar penerbit terkonsentrasi di Pulau Jawa.
b. Era Orde Baru(Orba)
Pada tahun 1965 terjadi perubahan situasi politik di tanah air. Salah satu akibat dari peralihan dari orde lama ke orde baru adalah keluarnya kebijakan baru pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan moneter. Sejak akhir tahun 1965, subsidi bagi penerbit dihapus. Akibatnya, karena hanya 25% penerbit yang bertahan, situasi perbukuan mengalami kemunduran. Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri, kemudian menetapkan bahwa semua buku pelajaran di sediakan oleh pemerintah. Keadaan tidak bisa terus-menerus dipertahankan karena buku pelajaran yang meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu, diberikan hak pada Balai Pustaka untuk mencetak buku-buku yang dibutuhkan di pasaran bebas. Para penerbit swasta diberikan kesempatan menerbitkan buku-buku pelengkap dengan persetujuan tim penilai.
Hal lain yang sangat menonjol dalam masalah perbukuan selama Orde Baru adalah penerbitan buku yang harus melalui sensor dan persetujuan Kejaksaan Agung. Tercatat buku-buku karya Pramudya Ananta Toer, Utuj Tatang Sontani dan beberapa pengarang lainnya, tidak dapat dipasarkan karena mereka dinyatakan terlibat G30S/PKI. Sementara buku-buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, kemudian Era Baru, Pemimpin Baru tidak bisa dipasarkan karena dianggap menyesatkan, terutama mengenai cerita-cerita seputar per-gantian kekuasaan pada tahun 1966.
Sebenarnya pemerintah saat itu sudah menyadari pentingnya mengatur masalah perbukuan nasional. Pemerintah melihat kompleksnya masalah industri buku apalagi hal itu menyangkut berbagai dan lintas sektor seperti pendidikan, perindustrian, perdagangan, dan keuangan. Oleh karena itu melalui Keppres No 5 Tahun 1978, Pemerintah membentuk Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional (BPPBN) yang bertugas melakukan berbagai kajian dan merumuskan konsep-konsep kebijakan di bidang perbukuan nasional. Badan ini pulalah yang melakukan kajian perbukuan secara nasional dan mengidentifikasi perlunya Undang-Undang untuk mengatur perbukuan secara nasional.
Tahun 1997, BPPBN menyusun draf awal UU tentang perbukuan nasional tetapi tidak ditindak lanjuti sampai Badan ini dibubarkan. BPPBN dirasakan kurang fungsional dalam mengatasi berbagai masalah serta lebih berfokus pada kajian-kajian dan rekomendasi kebijakan serta tidak melakukan kegiatan operasional. Pada tahun 1999 sesuai dengan salah satu rekomendasi hasil Kongres Perbukuan Nasional tahun 1995, dibentuk Dewan Buku Nasional (DBN) yang diketuai oleh Presiden RI dengan sejumlah Menteri dan wakil masyarakat perbukuan sebagai anggotanya. Namun dewan ini juga tidak berfungsi dengan optimal karena masing-masing anggotanya sudah memiliki tugas dan kewajiban lain yang lebih pokok. Pada akhirnya dewan tersebut dibubarkan pada November 2011 oleh Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara.
Tapi sebelumnya, pada tahun 1987 pemerintah melalui Keppres No. 4 Tahun 1987 dibentuk Pusat Perbukuan di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Fungsi dari Pusat Perbukuan ini adalah untuk mengembangkan buku-buku pendidikan, mendorong industri perbukuan dan melanjutkan upaya membuat Rancangan Undang-Undang Sistem Perbukuan. Namun sebelum UU tersebut berhasil disusun, Pusat Perbukuan tersebut disatukan menjadi Pusat Kurikulum dan Perbukuan dengan lingkup kerja yang semakin sempit. Pusat tersebut sekarang lebih banyak melaksanakan penilaian buku-buku pendidikan yang layak masuk ke sekolah ataupun perpustakaan sekolah.
D. Masa Reformasi-sekarang.
Era reformasi tahun 1999 dianggap sebagai tahun terbukanya pintu kebebasan di segala bidang mulai dari sosial, ekonomi, dan politik, tanpa kecuali politik perbukuan. Pada tahun itu pula pemerintah mencabut peraturan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers. Aturan tersebut sebenarnya dikhususkan bagi perusahaan penerbitan pers. Namun secara tidak langsung pencabutan aturan tersebut mendorong semakin banyak orang maupun lembaga mengekspresikan pendapatnya, yang salah satunya dengan cara menerbitkan buku. Penandatanganan perjanjian perdagangan bebas oleh Indonesia, General Agreement on Tariff and Trade pada tahun 1994, dan ASEAN Free Trade Area pada tahun 1995, membawa konsekuensi pengurangan peran pemerintah dalam bisnis penyediaan barang dan jasa, termasuk pengadaan buku pelajaran.
Pada masa Orde Baru, pengadaan buku pelajaran dilakukan oleh pemerintah melalui penerbit Balai Pustaka yang berstatus BUMN. Buku pelajaran mulai dari sekolah dasar hingga SLTA wajib menggunakan buku terbitan Balai Pustaka. Sedangkan buku pelajaran dari penerbit swasta hanya sebagai buku pelengkap saja. Sebagai akibat dari penandatanganan perjanjian perdagangan bebas, pemerintah mencabut peraturan tersebut dan menyerahkan kepada mekanisme pasar. Sejak saat itu jumlah penerbit baru terus bertambah dan bertumbuh bak jamur di musim hujan. Pada saat itu pula mulai muncul berbagai masalah dalam bisnis perbukuan. Misalnya tentang distribusi buku pelajaran, para penerbit menghubungi langsung para guru pengampu pelajaran agar menyuruh siswanya membeli buku tersebuat. Selanjutnya para guru tersebut mendapatkan imbalan(fee) tertentu dari penerbit.
Praktik tersebut membuat persaingan antarpenerbit semakin sengit dan ketat. Mereka berlomba-lomba menurun-kan harga buku atau menaikkan komisi untuk tenaga pendidik di sekolah agar buku mereka yang digunakan. Praktik tersebut merusak harga pasaran buku pelajaran dan menurunkan kualitas isi buku pelajaran. Mengatasi persoalan buku pelajaran yang mahal, pemerintah mengeluarkan kebijakan mendanai penerbitan buku-buku pelajaran tertentu dengan menggunakan dana Bantuan Operasi Sekolah(BOS). Kebijakan ini di satu sisi menguntungkan bagi sekolah-sekolah swasta atau sekolah negeri dengan kemampuan finansial rendah. Namun dari segi bisnis, kebijakan tersebut dianggap sebagai dominasi pemerintah terhadap pasar dan penerbit.
Selain buku pelajaran, ada beberapa fenomena menarik dalam pasang surut bisnis perbukuan di Indonesia paska reformasi. Pertama, buku motivasi. Sekitar dekade 90-an di Indonesia, khususnya Jawa, sedang marak fenomena Multi Level Marketing atau biasa dikenal dengan sebutan MLM. Orang-orang tergiur dengan janji keuntungan yang besar dalam waktu yang cepat. Kelompok-kelompok MLM biasanya memiliki jadwal pertemuan antarsesama anggota. Salah satu kegiatan pertemuan tersebut adalah pemberian motivasi dari leader atau anggota yang sudah mencapai level tinggi. Sekali sang leader mengatakan bahwa suatu produk atau buku tertentu itu bagus, maka para downline akan segera mencari dan membacanya. Itu sebabnya buku-buku motivasi dan MLM seperti Rich Dad Poor Dad, Cashflow Quadrant, Skill with People, Berpikir dan Berjiwa Besar, Financial Revolution marak diburu pada waktu itu.
Kedua, tren fiksi Islami. Ditandai dengan kemunculan novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-syirazi. Novel ini melejit salah satunya karena ekspos media massa. Pada saat itu novel yang berlatar Negara Mesir tersebut dianggap menawarkan nuansa dan kisah cinta yang tak biasa di Indonesia. Bahkan novel tersebut akhirnya dibuat versi film layar lebar. Akibatnya, muncul karya-karya fiksi dengan tema serupa, desain muka yang mirip, bahkan cara penulisan nama pengarangnya.
Ketiga, tren fiksi petualangan. Pada tahun 2005 ada satu novel sangat laris yaitu Laskar Pelangi. Novel tersebut mengisahkan tentang perjalanan seorang anak kampung yang berhasil mewujudkan impiannya untuk kuliah di luar negeri. Novel tersebut juga diproduksi dalam versi film layar lebarnya pada tahun 2008, dan sukses. Kesuksesan Laskar Pelangi tidak berhenti sampai di situ. Laskar Pelangi kemudian dibuat versi serial, pentas musikal, dan diterjemahkan serta dipasarkan ke 20 negara di dunia.
Sebenarnya fiksi yang bercerita tentang petualangan atau perjalanan tokohnya sudah pernah booming di era 90-an, yang paling terkenal misalnya Balada Si Roy. Namun yang membedakannya adalah Laskar Pelangi memberi inspirasi pembacanya tentang kondisi pendidikan di Indonesia dan petualangan di luar negeri. Sejak saat itu juga banyak muncul karya-karya fiksi yang menggambarkan suka duka hidup di negeri orang. Ada yang ditulis keroyokan ada juga yang perorangan. Selain itu juga marak buku-buku saku berisi tips bepergian ke luar negeri lengkap dengan rincian biaya yang diperlukan.
Terakhir, munculnya buku elektronik. Perkembangan teknologi selalu membawa inovasi dan cara baru bagi manusia menikmati hal-hal tertentu, termasuk membaca buku. Harga HP, laptop atau netbook yang semakin terjangkau dan meningkatkan kesadaran masyarakat atas kelestarian lingkung-an memunculkan kebiasaan baru masyarakat yaitu membaca buku elektronik. Meskipun mungkin kebiasaan ini baru diadopsi oleh kalangan ekonomi menengah ke atas dan berpendidikan.