Akhir-akhir ini Kalimantan Selatan menjadi sorotan karena “prestasi”nya mampu bersaing dengan ibukota negara dan provinsi berpenduduk besar di Indonesia. Namun yang disayangkan “prestasi’ ini dalam tanda kutip karena persaingan mewabahnya pandemic Covid-19 di Kalimantan Selatan yang sungguh memprihatinkan.
Seluruh penjuru dunia digoncang dengan adanya pendemi Virus Corona (Covid-19) yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan menimbulkan banyak kepanikan. Segala aspek kehidupan dan segala umur menerima efek domino dari pandemic ini.
Di Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2020 penulis ingin menyoroti potret anak banua Kalimantan Selatan, dan apakah pandemic covid-19 ini akan berakibat meningkatkan jumlah pekerja anak Banua? Anak yang seharusnya menghabiskan waktunya untuk sekolah, bermain dan belajar, karena kondisi keluarga dan ekonomi yang sulit memaksa mereka turut bekerja mencari nafkah?
Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk yang masih dalam kandungan yang harus mendapatkan perlindungan tidak hanya orangtua dan keluarganya, tetapi juga masyarakat, pemerintah daerah serta pemerintah pusat.
Sepertiga penduduk Kalimantan Selatan adalah anak usia 0-17 tahun atau sekitar 34,25 persen dari penduduk Kalimantan Selatan di tahun 2019 (BPS). Proporsi yang cukup besar untuk menjadi tanggungan semua pihak. Proporsi ini kemungkinan akan meningkat seiring akan memasukinya fase akhir bonus demografi di Kalimantan Selatan.
Realitanya di “Banua” Kita, saat teman sebayanya menghabiskan waktu untuk belajar dan bermain, anak usia 10-17 tahun sebagian harus bekerja mencari nafkah atau membantu orang tuanya bekerja. BPS mencatat proporsi pekerja anak di Kalimantan Selatan 2019 sebesar 6,39 persen dari total anak usia 10-17 tahun. Sekitar 48,87 persen dari mereka sudah tidak lagi memakai seragam sekolah, bahkan sekitar sepersennya tidak pernah merasakan duduk dibangku sekolah. Lama bekerja pun beragam, mulai dari satu jam bahkan ada yang bekerja lebih dari 70 jam seminggu. Anak yang bekerja membuat hak mereka tidak terpenuhi, baik itu hak pendidikan, jam bermain, interaksi dengan teman, istirahat yang cukup, hak mereka untuk tumbuh kembang dengan baik.
Anak yang bekerja lebih banyak berada di wilayah perdesaan, sekitar 64,29 persen. Sekitar dua pertiga pekerja anak di perdesaan adalah pekerja keluarga/pekerja tak dibayar. Fenomena ini sering ditemui anak turun ke sawah, ikut mencuci piring di warung makan, ikut berlayar,atau ikut ke pasar berjualan, sebagai wujud rasa prihatin dan peduli dengan kondisi orang tua dan keluarga. Bahkan kalau anak-anak sibuk dengan sekolahnya akan menjadi omongan warga sekitarnya.
Mayoritas anak bekerja di sektor jasa dan pertanian merujuk data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2019 yang diolah penulis, Di Kalimantan Selatan lebih dari separo anak bekerja di sektor Jasa yaitu perdagangan, akomodasi makan/minum, dan di Sektor Pertanian sekitar 29,65 persen. Namun yang menjadi perhatian adalah masih ada anak yang bekerja di sektor industri pengolahan. Padahal Pemerintah menentang pekerja anak dengan mendorong kawasan industri bebas pekerja anak. Sangat dikhawatirkan jika ada modus dilakukan seperti mendaftarkan diri di sektor industri menggunakan nama orang tuanya tapi yang bekerja justru si-anak dengan dalih membantu orang tuanya.
Para pekerja anak yang masuk dalam klasifikasi International Labour Organization (ILO) sebagai buruh anak yang tak bersekolah dan pekerjaannya berpotensi mengganggu pertumbuhan mental dan fisik anak. Pekerja anak kategori ini yang perlu diminimalisir keberadaannya.
Terlepas dari kategori tersebut, ada pula anak yang bekerja hanya sekedar membantu orang tua tetapi masih mengenyam pendidikan, yakni berkisar 51,13 persen dari seluruh anak bekerja. Anak kategori ini dibolehkan ILO untuk tetap mencari keterampilan di luar sekolah yang dinilai dapat mengembangkan diri.
Anak Bekerja Full-time?
Durasi lamanya bekerja menjadi PR penting bagi pemerhati pekerja anak. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur maksimal tiga jam setiap hari atau 15 jam per minggu dan dilakukan siang hari di luar jam sekolah.
Data BPS menunjukkan mayoritas anak usia 10 hingga 17 tahun bekerja tidak full-time atau di bawah 35 jam seminggu. Namun semakin tinggi usianya persentase pekerja anak full-time semakin meningkat. Anak usia 10-12 tahun sekitar 14,17 persen, Anak usia 13-14 tahun 14,68 persen, dan terbanyak sekitar sepertiga anak usia 15-17 tahun yang bekerja adalah pekerja penuh waktu (full-time worker).
Hak yang harus diberikan untuk anak berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB Tahun 1989, di antaranya Hak untuk Bermain. Menghabiskan waktu untuk bekerja, membuat hak anak bisa terabaikan. Sangat menyayat hati, masih ditemukan lebih dari 8 persen dari seluruh pekerja anak di kalimantan Selatan ada yang menghabiskan waktunya selama 50 jam seminggu untuk bekerja. Angka ini melebihi jam kerja normal orang dewasa yakni 40 jam per minggu. Mereka bekerja di sektor yang beragam seperti pertanian, konstruksi, perdagangan/akomodasi, serta jasa.
Kemiskinan dan minim pendidikan
Beberapa hari yang lalu Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan mengatakan bahwa ada sekitar 52 perusahaan merumahkan pekerjanya jumlah tenaga kerja yang dirumahkan sekitar 2.829 orang. Hal ini senada dengan hasil riset antara LIPI, kemenaker dan lembaga Demografi UI, Pandemi Covid-19 menyebabkan 15,6 persen pekerja terkena PHK. Tetapi jika dilihat berdasarkan kelompok umur, pekerja yang di PHK adalah pekerja kelompok usia 15-19 tahun. Berdasarkan riset tersebut menggambarkan bahwa jika diminta untuk memilih perusahaan cenderung merumahkan/memberhentikan pekerja usia muda.
Beberapa penelitian dan ahli menilai akar kemunculan pekerja anak adalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan. Kemiskinan memaksa anak menjadi pendongkrak ekonomi keluarga dan memaksa mereka menanggalkan seragam sekolah.
Studi dari peneliti Hanmanta V Wadgave and Lata B Godale dari India menegaskan kemiskinan menjadi faktor utama seorang anak bekerja, Hasil penelitian mereka sekitar 75 persen karena kondisi keuangan keluarga yang tidak memadai. Selain itu rendahnya latar belakang pendidikan orang tua berdampak pada anggapan sekolah menjadi tak penting jika sudah bisa menghasilkan uang. Hal ini sejalan dengan studi Hasxelinna dan Arabsheibani yang menunjukkan semakin tinggi latar belakang pendidikan kepala keluarga, semakin kecil potensi seorang anak diminta untuk bekerja.
Pemerintah sudah, sedang, dan akan terus melakukan langkah-langkah untuk mempercepat terwujudnya Indonesia bebas pekerja anak tertuang juga pada SDGs Goal 8 mengakhiri segala bentuk tenaga kerja anak tahun 2025. Terlihat di Kalsel sendiri 2 tahun terakhir persentase pekerja anak mengalami penurunan sebelumnya lebih dari 8 persen (2017) menurun hingga 6,39 tahun lalu.. Tahun 2020 karena kedatangan COVID-19 semua aspek terjadi perubahan tidak hanya kesehatan yang terdampak serius tetapi juga perekonomian, PHK, Perusahaan dan UMKM yang tak sanggup bertahan, tutupnya sekolah-sekolah atau study from home/PJJ menimbulkan kelonggaran waktu anak dan kondisi keluarga menimbulkan peluang-peluang anak ikut terjun ke dunia kerja untuk membantu perekonomian keluarga khususnya yang berada di lingkar kemiskinan. Bahkan hal ini menjadi perhatian Dunia Internasional, ILO memperingatkan seluruh negara bahwa Covid-19 dapat berdampak besar terhadap anak salah satunya meningkatkan pekerja anak. Mari kita bersama-sama, orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah pusat, KPA saling bergandengan tangan memberikan perlindungan terhadap anak.
Bagaimana potret pekerja anak untuk tahun 2020 di Kalimantan Selatan? apakah menurun kembali atau malah mengalami peningkatan? Kita tunggu potret tenaga kerja dan dampak Covid-19 terhadap ketenagakerjaan pada survei angkatan kerja nasional (Sakernas) yang akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2020 oleh Badan Pusat Statistik. Warga Banua yang menjadi responden BPSsangat diharapkan partisipasinya, hanya dengan menjawab dengan jujur dan benar “pian” sudah membantu Pembangunan Bangsa dan ikut serta memberikan Perlindungan terhadap Anak.
(Penulis : Nurliana, Statistisi Ahli Muda, BPS Provinsi Kalimantan Selatan)