
Perkembangan pendidikan suatu bangsa semakin lama akan didominasi oleh tingkat absorpsi informasi yang koheren. Kemampuan kemajuan teknologi dengan diseminasi persuasif perlahan – lahan bermetamorfosa merubah konsep perilaku, budaya, dan perspektif seseorang pada suatu kebiasaan menuju ke perubahan gaya sentrifugal yang artinya bergerak menjauh dari perubahan menuju ke gaya sentripetal, yaitu kebalikan dari menjauh melainkan mendekati difusi sistem. Difusi akan menjadi invensi yang melekat pada individu maka akan menghasilkan bentuk metode baru dari keberhasilan pengalaman terdahulu. Hal ini tentunya mendominasi pola pikir terhadap pengambilan keputusan seseorang dimana efek resensi ada dalam pribadi seseorang. Sistem dibuat untuk memecahkan segala informasi dan menjadi solusi tercepat di era disrupsi saat ini.
Pendidikan yang semula secara parsial memiliki metodenya sendiri dalam hal pembelajaran secara simultan akan mengikuti sistem difusi pendidikan. Sesuai dengan pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 alinea keempat salah satu cita – cita luhur bangsa adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan secara derivatif juga tertuang dalam Pasal 3 UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional secara eksplisit menjelaskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Beberapa variabel yang akan mempengaruhi difusi inovasi yaitu atribut inovasi, jenis keputusan investasi, saluran komunikasi, kondisi sistem sosial dan peran agen perubah. Dimensi pendidikan juga memiliki resonansi yang ekskalatif untuk berbagai sendi kehidupan. Baik ekonomi, sosial maupun politik. Pendidikan nasional berguna mengembangkan kompetensi guna pengembangan akhlak seerta peradaban bangsa sebagai manifestasi dari intelektualitas peserta didik.
Permasalahan dalam sistem pendidikan saat ini, bukan hanya terdapat pada sistem pendidikan yang terdifusi tetapi terdapat efek resensi meritokrasi kepemimpinan. Persepsi seseorang di dalam menyikapi suatu kondisi akan terbagi menjadi dua yaitu efek primari dan efek resensi. Efek primasi terjadi pada saat seseorang menerima informasi di awal terlebih dulu, sedangkan informasi yang diterima di awal tadi akan lebih mudah diingat jika seseorang menerima informasi terakhir maka ini disebut dengan efek resensi. Efek resensi ini bisa berdampak pada meritokrasi individu yang diukur dari hasil kemampuan atau prestasi terakhir untuk kompeten dalam memimpin atau menduduki jabatan. Tanpa melihat batasan dari latar belakang etnik, status sosial atau pengalaman. Perspektif ini dinilai secara obyektif menjadi ukuran ideal dalam memilih individu dari hasil kinerja dan prestasi yang dimiliki, namun respon negatif timbul bagi mereka yang dinilai tidak adil bagi mereka yang kurang memiliki kompetensi menonjol. Kompetensi menurut (Bolden, R., Gosling, J., Marturano, A. and Dennison, 2003) gagasan “tersebar kepemimpinan” dan perbedaan antara proses “kepemimpinan” dan peran sosial-dibangun “pemimpin”. Gagasan ini timbul memiliki proses menjadi seorang pemimpin yang berbeda – beda, sehingga terjadi pergeseran tujuan pada karakteristik generik dan perilaku individu untuk pengakuan tentang pentingnya menanggapi situasi yang berbeda melaui konteks dan peran pemimpin dalam kaitannya dengan pengikut.
Kepemimpinan seseorang dikatakan berhasil jika mampu mencetuskan paradigma atau konsep yang bisa diimplementasikan kegunaannya. Meritokrasi kepemimpinan ini akan menjadi panutan atau indikator penilaian kepada seseorang karena hasil prestasi menciptakan terobosan yang luar biasa di akhir waktu. Kelebihan meritokrasi ini sudah banyak digunakan dalam birokrasi pemerintahan seperti di Singapura yang lebih dulu menerapkan ini dengan menciptakan pemerintahan dan sistem administrasi dengan memilih pemimpinnya dari individu yang berprestasi atau kompeten di bidangnya. Di negara lain seperti Jepang juga sudah memberikan stimulus beasiswa pendidikan luar negeri dari berpuluh – puluh tahun lalu bagi masyarakat yang berprestasi. Indonesia juga dalam sejarah kepemimpinan bangsa pernah dipimpin oleh menteri yang menerapkan meritokrasi pada masa tugasnya yaitu Sutan Sjahrir (1945 -1947) dan Agus Salim (1947 – 1949) mereka memilih Menteri – menteri yang mumpuni di bidangnya. Tokoh lain juga seperti Alm Prof. Ing. Bj Habibie almarhum dengan selain talenta individu yang sudah sejak lahir, dia juga meberikan efek resensi positif bagi bangsa dan meritokrasi diterapkan dalam memimpin bangsa Indonesia.
Pembahasan sistem pendidikan Indonesia sampai saat ini sudah mengalami transformasi demokrasi menuju pemanfaatan pengetahuan berbasis teknologi. Empat dimensi pemanfaatan pengetahuan menurut National Center for the Dissemination of Disability Research (NCDR) (1996) yaitu sumber, isi, media dan pengguna. Lebih tepatnya pendidikan nasional bangsa dari 4 dimensi tersebut sudah menerapkan pada sistem yang disebut dengan kampus merdeka. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan ini tertuang juga di dalam pembukaan UUD 1945. Penerapan metode pendidikan ini terjadi pada saat konsep baru lahir tentunya dari efek resensi positif yang menimbulkan meritokrasi bagi pemilihan pemimpin di Indonesia. Waktu dan obyektifitas hasil sangat tepat mendominasi pengaruh kepemimpinan individu di dalamnya. Namun, yang menjadi urgensi adalah ketika transformasi tersebut akan merubah kemampuan soft skill para pemberi dan penerima pendidikan. Benturan ini belum lagi terkendala dengan masalah bentuk kurikulum yang sudah berjalan normal mengalami difusi inovasi kampus merdeka tersebut. Perubahan menuju ke arah literasi teknologi dengan dinamika birokrasi yang sudah normal akan menjadi pro kontra dalam kepemimpinan, maka meritokrasi dari resensi seseorang belum bisa menjadi signifikan terlihat. Artinya, perilaku individu dari meritokrasi tidak dapat mutlak dapat diterima oleh sistem sosial kultural dari yang sudah berjalan.
Permasalahan ini semakin kompleks disebabkan efek resensi yang menjadi pragmatis karena keberhasilan dari individu tersebut bukan didasari dari bidang yang sama sebelumnya kemudian diterapkan ke dalam sistem yang baru dalam bidang pendidikan. Selain penyebab tersebut, literasi pendidikan Indonesia masih belum bisa instan untuk mengadopsi perubahan kualitas informasi dan dari sisi pengguna juga masih terbatas dalam keinginan untuk melek teknologi. Hal lain juga terkendala masalah saluran demografi distribusi jaringan masih terkendala dalam memperoleh informasi, belum lagi soal kemampuan ekonomis setiap pembelajar berbeda – beda tiap daerahnya. Perdebatan penyebab lain adalah pendidikan karakter melalui teknologi tidak dapat dengan optimal secara penuh dirasakan karena tidak adanya interaksi secara koheren mengenai sikap, moral dan budaya yang dapat diberikan kepada peserta didik. Penyebab dari semua ini adalah tentunya tidak membuat menjadi buruk pendidikan bangsa, hanya saja timbul persepsi negatif dari para pendidik senior khususnya berasumsi bahwa pendidikan indonesia tidak bisa digeneralisasikan dengan pembelajaran dengan menggunakan keberhasilan dari aplikasi.
Apakah Pendidikan di Indonesia bisa Menerapkan Sistem Meritokrasi?
Saya berusaha menjawab pertanyaan di atas. Menurut pendapat saya: Ya, mungkin saja, meskipun sulit. Setelah memahami sistem pemerintahan dan sistem politik yang dianut di Indonesia sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem negara Indonesia tidaklah mengambil atau menganut suatu sistem dari negara manapun melainkan suatu sistem yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Suatu sistem yang memiliki identitas dan berciri khas sebagai bangsa Indonesia. Merit Sistem bukan tidak mungkin diterapkan di negara ini, sepanjang sistem ini baik dan sesuai dengan Pancasila serta UUD 1945, tentulah bisa diterapkan. Apalagi di dalam meritokrasi sangatlah menjunjung prinsip obyektifitas, dimana prestasi akan diberikan kepada seseorang sesuai dengan kinerja yang selama ini dijalankan atau diberikan.
Apabila meritokrasi pendidikan diterapkan, maka seseorang yang tidak memiliki kemampuan mengembangkan metode pembelajaran jarak jauh tidak akan bisa menduduki posisi penting di dalam institusi atau karir pendidiknya. Orang-orang dalam meritokrasi biasanya bekerja secara bertahap dalam institusi pendidikan, memulai dari jenjang rendah kemudian menanjak seiring dengan waktu, pengalaman, dan prestasi. Dalam beberapa contoh, hal ini mungkin tidak akan jauh berbeda dari bentuk sistem pendidikan lain yang juga harus berawal dari level rendah. Bedanya, dalam meritokrasi seseorang akan menaiki jenjang yang lebih tinggi didasarkan pada prestasi bukan sekedar urutan senioritas atau koneksi dengan pejabat penting.
Indonesia setidaknya sampai saat ini belum menganut sistem meritokrasi secara murni. Dalam meritokrasi, seseorang bisa maju ke tingkat tertinggi – bahkan menjadi pemimpin negara – tanpa harus khawatir terhadap pertimbangan atau kepentingan politik tertentu. Hal seperti ini belum sepenuhnya bisa berjalan di Indonesia. Memang ada beberapa pos-pos penting dalam pemerintahan yang diisi oleh orang-orang yang kompeten dan ahli di bidangnya, namun tak dapat dipungkiri banyak penunjukan jabatan diberikan kepada seseorang yang bukan ahlinya, hal itu terjadi karena melibatkan pertimbangan politik. Banyak pengamat yang menilai bahwa pemberian jabatan kepada seseorang terkadang didasarkan sebagai bentuk balas budi atau rasa terima kasih terhadap elite atau golongan tertentu, bukan karena prestasi atau kemampuan yang dimiliki. Ini adalah sebuah kenyataan yang harus kita benahi. Pendidikan pada dasarnya mempunyai tugas utuk melahirkan kader-kader yang cerdas, berwawasan dan berprestasi, sehingga ketika memang diamanatkan memegang suatu posisi tertentu, maka posisi tersebut akan dititipkan kepada kandidat yang berkualitas, bukan hanya sembarang tunjuk.
Dalam meritokrasi tidak ada batasan sampai mana seseorang bisa terus maju. Pasalnya tidak ada pertimbangan politik yang mendasari penunjukan atas suatu jabatan. Selama kita mampu dan layak, maka kita akan terus naik ke tingkat yang lebih tinggi. Namun sistem meritokrasi ini juga punya kelemahan. Salah satunya dinilai sebagai sistem yang diskriminatif. Sistem ini dianggap mungkin tidak akan memberikan kesempatan pada orang yang memiliki keterampilan, tetapi tidak cukup cerdas atau tidak berkesempatan mendapatkan pendidikan tertentu. Selain itu, jika biasanya seseorang bekerja secara bertahap, memulai dari jenjang rendah untuk kemudian menanjak seiring dengan waktu dan pengalaman, dalam sistem meritokrasi berbeda. Jika dianggap memiliki kualifikasi yang sesuai, kita bisa saja langsung melompat tanpa melalui hierarki jabatan terlebih dahulu. Hal ini tentu dapat menimbulkan kecemburuan sosial kepada orang yang lebih senior. Kecemburuan sosial semacam ini bisa berdampak negatif kepada suasana kerja. Misalnya pendidik senior tidak menerima jika dipimpin oleh pendidik yang lebih muda atau junior, meskipun kemampuannya sudah mumpuni untuk berada di level tersebut.
Tentu saja tiap penerapan sistem pendidikan memberikan kelebihan dan kekurangan. Penerapan sistem meritokrasi dalam perkembangan intelektualitas berarti mengutamakan profesionalisme di bidangnya masing-masing. Di lain sisi, sistem ini akan meminimalkan perekrutan melalui koneksi politis atau sosial yang mana menjadi lebih tidak adil jika diterapkan. Meritokrasi merupakan solusi atas nepotisme, kelembaman kepemimpinan serta daya saing bangsa. Demokrasi tanpa meritokrasi membuat kepemimpinan tercengkeram orang-orang yang mau meski tak mampu. Meritokrasi memang kerap dianggap sebagai suatu bentuk sistem yang adil karena memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin, akan tetapi sistem ini bukan berarti tidak memiliki kekurangan, beberapa ahli berpendapat bahwa meritokrasi memiliki unsur diskriminatif karena kurang memberi tempat bagi mereka yang memiliki keterampilan tetapi tidak cukup cerdas atau tidak berkesempatan mendapatkan pendidikan tertentu.
Solusi yang harus dipecahkan bersama bahwa pendidikan berorientasi meritokrasi harus menghilangkan diskriminasi manusia berdasar jenis intelegensi tertentu, karena potensi pribadi seseorang tidak bisa diukur hanya dengan output teknologi tetapi pendidikan mengajarkan budi perkerti, pendidikan berwawasan karakter membentuk manusia seutuhnya sesuai dengan hakekat pembangunan nasional. Demokrasi pendidikan harus memberi ruang aktualisasi bagi keragaman intelegensia manusia (linguistik, logik-matematik, spasial, musik, kinestetik, interpersonal dan intrapersonal) sehingga bisa melahirkan calon pemimpin dengan merit dan karakter tangguh. Manusia berkarakter adalah yang memiliki keunggulan khas, dapat diandalkan, dan memiliki daya tahan dalam kesulitan dan persaingan.
Apapun itu, setiap hal pasti memiliki sisi positif dan sisi negatif, ada kelebihan pasti juga ada kekurangan. Menurut pendapat saya, ambil sisi baiknya, kita bisa melihat bahwa meritokrasi menjunjung pendidikan, wawasan, ketrampilan dan prestasi. Jika masyarakat kita sadar bahwa mereka bisa maju karena prestasi, maka mereka mungkin akan terpacu untuk melakukan hal-hal yang akan membuka peluang tersebut, mereka akan merubah pola pikir, bekerja dan belajar lebih keras untuk membuktikan bahwa diri mereka mampu. Jadi, ambil sisi positif dari sistem ini, hingga suatu saat semoga kita bisa mengapliksikan sistem ini bukan hanya dalam bidang pendidikan, namun dalam berbagai aspek kehidupan.
Jika saja pendidikan Indonesia mau bersama menciptakan sumber daya manusia yang unggul melalui perubahan menuju revolusi yang tak terhingga, perdebatan atau kesenjangan meritokrasi akan berubah menjadi motivasi positif bagi sendi – sendi kehidupan bangsa. Semoga Indonesia menjadi bangsa besar yang akan terwujud pada tahun 2030.
Referensi
Bolden, R., Gosling, J., Marturano, A. and Dennison, P. (2003). A Review of Leadership Theory and Competency Frameworks: Centre for Leadership Studies.
Di tulis oleh Roymon Panjaitan, SE, Ak, MM
Sekolah Tinggi Elektronika dan Komputer (STEKOM)
Jl. Diponegoro, No 3-5, Ungaran, Kec Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa – Tengah.
[ISI OPINI TANGGUNG JAWAB PENULIS]