
Disrupsi, lebih dari sekedar gangguan terhadap kemapanan, merupakan sebuah peluang bagi inovasi pengetahuan dan perguruan tinggi. Dengan mengacu pada pemikiran Christensen dan Fukuyama mengenai disrupsi, artikel ini mencoba memperlihatkan dimensi kreatif dan inovatif ilmu pengetahuan dan perguruan tinggi. Secara khusus, artikel ini menyampaikan 5 tesis penting tentang dimensi inovatif disrupsi, yaitu, disrupsi mendorong pemberontakan terhadap dogmatisme dan moralitas yang koruptif dalam pengembangan ilmu pengetahuan, menaruh perhatian pada dimensi non-kognitif pengembangan ilmu pengetahuan, memberikan perhatian pada learning skill daripada pengembangan pengetahuan dalam kurikulum pendidikan tinggi, mendorong kerjasama interdisipliner dan multikultural, dan mendorong penelitian menaruh perhatian pada masalah-masalah fundamental.
Kata-kata seperti disruption, disruptive innovation, disruptive technology, disruptive mindset, disruptive leader, dan seterusnya kian menjadi begitu populer dalam kalangan pendidikan tinggi dan masyarakat luas. Seperti diuraikan secara luas oleh Rhenald Kasali dalam bukunya Disruption, istilah “disruption” mula-mula muncul dalam konteks bisnis, investasi dan keuangan.1 Tetapi kemudian meluas pengaruhnya dalam banyak bidang kehidupan: politik, dunia hiburan, pemerintahan, sosial, kepemimpinan, dan pendidikan. Apa itu disruption (disrupsi)? Apa dampaknya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan? Apakah benar bahwa era disrupsi mengancam lembaga pendidikan tinggi secara fundamental? Pertanyaan terakhir ini mencuat ke permukaan antara lain melalui artikel Prof. Sudaryono berjudul “Bunuh Diri Masal Perguruan Tinggi Menuju Pendidikan Asembling”.2 Artikel ini menjadi viral di media sosial selama dua tahun terakhir. Tulisan ini dibatasi pada tiga pertanyaan tersebut di atas dengan gagasan dasar berikut: Jika disrupsi dipahami secara majemuk, maka dalam konteks Indonesia disrupsi menunjuk pada gangguan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi peluang bagi pengembangan pendidikan tinggi.
DISRUPSI SEBAGAI GANGGUAN DAN INOVASI
Paham disrupsi yang populer dewasa ini diasalkan dari buku Th e Innovator’s Dilemma (1997) yang ditulis oleh Clayton M. Christensen.3 Teori Christensen tidak segera menjadi terkenal. Baru dalam tahun 2015 teorinya direspons dan dikoreksi, antara lain oleh King dan Baatartogtokh.4 Sangat berdekatan waktu dengan terbitnya Th e Innovator’s Dilemma, Francis Fukuyama menerbitkan Th e Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order (1999).5 Fukuyama memilih perspektif ilmu sosial dalam menganalisis perubahan masyarakat menjelang akhir abad ke-20. Apakah Christensen dan Fukuyama memahami “disruption” dalam arti yang sama? Tidak, malah boleh dikatakan saling bertentangan.
Kesamaan Christensen dan Fukuyama ialah mereka menulis dalam konteks zaman yang sama ketika teknologi informasi mulai mencapai kemajuan yang defi nitif dan dengan cepat mempengaruhi pola-pola relasi dan komunikasi. Buku Th e Innovator’s Dilemma dan Th e Great Disruption terbit ketika internet sebagai wujud konkret teknologi informasi mulai memendekkan jarak sehingga dunia menjadi bagaikan “daun kelor” atau a global village menurut istilah Marshall McLuhan.6 MacLuhan membayangkan dunia menjadi semakin sempit berkat teknologi elektrik dan arus informasi yang sama derasnya ke setiap bagian dunia. Hal itu berarti, perkembangan teknologi informasi secara radikal turut mengubah struktur kehidupan secara sosiologis. Bentuk-bentuk komunikasi, terutama cara-cara menyampaikan pesan, opini, kritik, dan evaluasi berubah secara radikal. Berkat kecepatan informasi dan transportasi yang diciptakan teknologi, maka kebudayaan-kebudayaan yang terasing, atau paling kurang dianggap jauh, menjadi dekat dan saling berbaur. Dunia yang luas menjadi padat. Terciptalah jaringan-jaringan sosial yang menjadi katalisator bagi perubahan sosial. Dalam konteks zaman itu, di akhir abad ke-20 mulai berkembang e-commerce yang menyebabkan kegiatan-kegiatan komersial menjangkau seluruh dunia. Akan tetapi, teknologi informasi yang menciptakan global village tersebut dimanfaatkan pula sebagai instrumen kriminal. Pelaku terorisme dan berbagai tindak kejahatan menggunakan fasilitas yang sama. Jadi, perkembangan teknologi canggih berdampak baik terhadap kekacauan sosial maupun terhadap perubahan-perubahan fundamental pada dunia industri barang dan jasa. Dalam konteks itu Fukuyama dan Christensen berbicara tentang “disruption”, namun dengan paham yang berbeda. Fukuyama memahami disrupsi sebagai gangguan terhadap tata sosial, sedangkan Christensen melihat disrupsi sebagai peluang inovasi yang menguntungkan.
Pandangan Francis Fukuyama
Fukuyama mengartikan disrupsi menurut arti kata secara leksikal. Disrupsi berarti gangguan atau kekacauan. Menurutnya, suatu masyarakat yang dikondisikan oleh kekuatan informasi cenderung menghargai nilainilai yang dijunjung tinggi dalam demokrasi, yaitu kebebasan (freedom) dan kesetaraan (equality). Kebebasan memilih mencuat tinggi sebagai hak, sementara semua jenis hirarki (dalam agama, politik, pemerintahan, bisnis, dan lain-lain) digerogoti daya regulasi dan kecenderungan koersifnya.7 Fukuyama mengakui keuntungan atau manfaat yang timbul dari perubahan-perubahan teknologi, sehingga masyarakat menjadi suatu “masyarakat-informasi” (information society). Kesejahteraan, demokrasi, kesadaran akan hak asasi dan kepedulian terhadap lingkungan hidup, merupakan contohnya. Akan tetapi, Fukuyama bertanya, apakah semua konsekuensi dari perkembangan baru teknologi positif? Ia menjawab: Tidak. Masyarakat-informasi, di negara manapun, ditandai oleh kondisi-kondisi sosial yang memburuk. Kejahatan dan kekacauan sosial menciptakan ketidak-nyamanan hidup, bahkan di pusat-pusat kota yang terbilang sejahtera. Kekerabatan dan keluarga sebagai institusi sosial terguncang, sementara jumlah perceraian meningkat dan kelahiran unwanted-children bertambah. Fukuyama tidak mereduksi persoalan-persoalan sosial pada krisis moral atau kemunafi kan zaman. Ia menunjuk data-data statistik tentang tingkat kejahatan, perceraian, kelahiran anak-anak tanpa ayah, kualitas pendidikan yang menurun, dan hilangnya saling percaya (trust) dalam kehidupan sosial. Fenomena itu menjadi indikator munculnya dua gangguan serius, yaitu melemahnya ikatan sosial dan pudarnya nilainilai bersama (common values) yang menjadi modal sosial. Hubungan antara dua faktor itu, ikatan sosial dan common values, bercorak kultural, ekonomis, sosial-politik, dan teknologis. Kompleksitas itu secara kumulatif menjadi gangguan yang besar (great disruption) bagi kehidupan sosial. Selanjutnya, apakah teknologi dan dampaknya pada perubahan ekonomi memengaruhi tata sosial? Fukuyama menjawab, “Perubahan teknologi yang mengakibatkan apa yang disebut Joseph Schumpeter sebagai ‘destruksi kreatif’ (creative destruction) di pasar, niscaya juga mendisrupsi relasi-relasi sosial.”8 Atau, lagi, “Dinamika ekonomi yang berbasis inovasi-inovasi teknologi menurut hakikatnya niscaya mendisrupsi relasi-relasi sosial.”9
Disrupsi dalam arti gangguan terhadap nilai dan tata sosial punya risiko memerosotkan peradaban. Arah peradaban manusia telah meninggalkan proposisi Th omas Hobbes (1588-1679) bahwa masyarakat ditandai oleh perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes). Civil society sebagai masyarakat beradab tidak mungkin ada tanpa ikatan sosial yang erat dan adanya nilai-nilai (kultural, sosial, moral) sebagai modal sosial. Dalam konteks dan kondisi perkembangan teknologi dan perubahan sosial-ekonomi yang serba cepat, memang the great disruption tampaknya tak terhindarkan. Selama ilmu pengetahuan dan teknologi masih terus berkembang, maka selama itu pula disrupsi akan terjadi. Namun disrupsi mesti diatasi. Menurut Fukuyama, agar kita bisa menata kembali masyarakat secara sosial, perhatian perlu diarahkan kepada dua kapasitas manusiawi, yaitu kesadaran akan kodrat manusia dan kecenderungan manusia untuk mengorganisasi diri. Faktor pertama menjadi sumber nilai-nilai, sedangkan yang kedua merupakan wilayah operasional bagi modal sosial.10 Jadi, betapa pun canggihnya teknologi dan inovasi yang muncul, kodrat manusia mesti tetap menjadi fundamen bagi penataan kehidupan sosial.
TANTANGAN TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Pertanyaan yang dihadapi di sini berbunyi: Apa yang bisa dikatakan tentang perkembangan ilmu pengetahuan dari perspektif paham disrupsi seperti telah diuraikan di atas? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut baiklah terlebih dahulu ditunjuk karakteristik ilmu pengetahuan sejak awal perkembangannya di masa modern.
Francis Bacon: Awal Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Sejak Francis Bacon (1591-1626) memberikan pendasaran fi losofi s bagi induksi sebagai metode penalaran ilmiah, ilmu pengetahuan mend apatkan energi perkembangan secara tidak terbendung. Dalam tahun 1620 ia menerbitkan bukunya Novum Organum Scientiarum (Instrumen Baru Ilmu Pengetahuan). Kata “Organum” merujuk pada karya Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) yang berjudul Organon di mana logika deduktif dan silogisme dibahas. Bacon menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan mesti dibebaskan dari “idola-idola”, yakni prasangka-prasangka, pengalam an subjektif, pandangan atau perkataan yang diterima tanpa pengujian, dan fi lsafat yang diwariskan begitu saja tanpa kritik. Agar pengetahuan ilmiah menjadi murni, dibutuhkan metode yang berbasis pada data-data empiris. Metode itu ialah induksi. Induksi adalah proses penalaran di mana kesimpulan-kesimpulan ditarik dari data-data hasil pengamatan. Terkenallah perkataan Bacon “Knowledge is power”, maksudnya hanya dengan pengetahuan ilmiah alam dapat dikuasai. Di sini tampak corak fungsional pengetahuan. Agar alam dikuasai, maka pikiran mesti takhluk pada hukum-hukum alam. Pikiran takhluk pada hukum alam berarti pikiran mengerti sifat-sifat alam yang umum. Dengan kata lain, takhluknya pikiran pada hukum alam hanyalah cara untuk menguasai alam. Alam mesti dikuasai dari dalam alam sendiri, dan hal ini terjadi melalui pengalaman langsung. Oleh karena itu, titik berangkat logika atau penalaran induktif ialah pe ngalaman langsung tentang alam melalui observasi dan eksperimen. Karena pemikirannya tentang metode induksi, Bacon dihormati sebagai perintis metode ilmiah modern.
PELUANG BAGI LEMBAGAI PENDIDIKAN TINGGI
Di atas telah dikemukakan dua paham disrupsi menurut Fukuyama dan Christensen. Fukuyama melihat disrupsi sebagai gangguan, sedangkan Christensen memahaminya sebagai peluang bagi inovasi dan kreativitas. Selanjutnya, ditunjuk dua tantangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan pengelolaan lembaga pendidikan tinggi. Pertama, tantangan yang berasal dari standarisasi yang membakukan prosedurprosedur penelitian dan karya ilmiah. Pendekatan pada standarisasi tersebut dinilai terlampau positivistik, sehingga membatasi ruang bagi kebebasan kreatif. Kedua, rendahnya moralitas akademik menandai adanya tantangan terhadap pengetahuan ilmiah dan proses-proses akademik di lembaga pendidikan tinggi. Tujuan ilmu pengetahuan dan pendidikan tidak akan tercapai tanpa kejujuran akademik. Menghadapi situasi itu, apa yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan peluang-peluang era disrupsi baik untuk menjawab tantangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan maupun untuk melakukan inovasi di lembaga pendidikan tinggi? Diskusi dapat menjangkau berbagai pokok dan aspek, namun di sini diusulkan empat peluang pengembangan.
Pertama, dalam teori disrupsi (Christensen dan Kasali), inovasi terjadi tidak hanya sebagai cara menggunakan aplikasi-aplikasi teknologi. Inovasi disruptif terjadi pula pada level fundamental dan hakiki. Dalam bisnis, konsep bisnis, marketing, keuangan, dan relasi-relasi bisnis semuanya turut mengalami kebaruan. Dalam pendidikan hal yang fundamental itu tidak lain dari paham tentang manusia, watak, dan nilai-nilai dasar yang diyakini dalam konteks zaman. Bagaimanapun juga setiap teori dan strategi pendidikan selalu berbasis pada konsep manusia tertentu. Tradisi pendidikan yang menekankan kecerdasan intelektual, misalnya, dilatarbelakangi oleh paham manusia sebagai makhluk rasional – suatu paham yang secara eksplisit menjadi pandangan Aristoteles. Pandangan tersebut mengabaikan kecerdasan-kecerdasan non-kognitif seperti yang di masa kini dikenal melalui teori multikecerdasan. Paham-paham pendidikan yang berkembang dalam konteks agama-agama umumnya memberi tekanan pada aspek lain. Dapat disebutkan sebagai contoh, baik tradisi pendidikan Katolik maupun Islam, secara mencolok mengutamakan akhlak manusiawi sebagai bagian fundamental dari konsep kepribadian manusia yang utuh. Hal ini didasarkan atas paham tentang aspek transenden manusia. Di sana konsep manusia menjadi dasar bagi kebijakan tentang integritas moral yang perlu mewujud sebagai karakter atau jati diri institusional lembaga pendidikan. Dewasa ini pun setiap lembaga pendidikan tinggi berusaha mengembangkan tradisi yang kuat dalam hal moralitas dan disiplin. Akan tetapi ketika masyarakat sedang mempertanyakan dan mengkritisi berbagai kasus tentang hilangnya kejujuran akademik, maka lembaga pendidikan mesti tampil sebagai pelopor dalam membarui moralitas pendidikan dan masyarakat. Pembaruan itu hendaknya bersifat menyeluruh, agar integritas moral menjadi ciri khas baik layanan akademik dan administrasi, kegiatan dan proses pembelajaran serta penelitian, maupun dalam kerja sama dengan para mitra. Implikasinya, program pembentukan karakter bagi pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa, menjadi keniscayaan. Integritas moral kiranya menjadi ciri khas pelaksanaan tridharma perguruan tinggi. Melalui mahasiswa dan alumni kita, penguatan moral akademik secara sosial dapat dibaca sebagai upaya transformasi moral-sosial masyarakat di masa depan. Gagasan pokok di sini ialah pendidikan merupakan proses pembentukan dan pembaruan kebudayaan, sedangkan jiwa kebudayaan terletak pada nilai-nilai universal seperti integritas dan kejujuran. Moralitas akademik yang baik di lembaga pendidikan tinggi niscaya menjadi faktor formatif yang fundamental terhadap kebudayaan. Moralitas akademik yang buruk dengan sendirinya menjadi pembusuk terhadap kebudayaan. Era disrupsi membawa serta peluang untuk sesuatu yang fundamental di bidang pendidikan tinggi, yaitu memastikan fondasi spiritual kebudayaan melalui pengembangan moral akademik yang terpuji.
Kedua, dalam era disrupsi yang ditandai oleh perubahanperubahan yang serba cepat, pertanyaan-pertanyaan berikut ikut sungguh menantang. Apa yang akan segera terjadi dengan manusia? Apa yang akan terjadi dengan pendidikan tinggi? Apa yang akan menjadi tuntutan bagi kepribadian manusia? Kiranya penting untuk disimak hasil penelitian seperti yang dikemukakan oleh Yuval Noah Harari. Dalam bukunya yang berjudul 21 Lessons for the 21th Century (2018), ia menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini: How do computers and robots change the meaning of being human? How do we deal with the epidemic of fake news? Are nations and religions still relevant? What should we teach our children? Dan ia meramalkan bahwa sekitar tahun 2050 banyak orang di muka bumi “tidak lagi relevan”, karena tidak punya mentalitas yang cocok dengan kebutuhan zaman, tidak memiliki kecakapan hidup dan kerja yang diperlukan. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya pekerjaan yang hilang, dan munculnya profesi-profesi baru yang menantang. Dalam seleksi yang ketat, mereka yang bertahan sebagai manusia yang relevan ialah mereka yang memiliki karakter yang kuat dan kecakapan-kecakapan hidup dan kerja. Sejak tahun 2000 Th omas Stanley dalam bukunya Th e Millionaire Mind sudah mengumumkan hasil penelitiannya bahwa tiga karakter tertinggi yang relevan dan paling kuat pengaruhnya ialah being honest with all people (kejujuran), being well-disciplined (disiplin diri), dan getting along with people (mudah bergaul, berkomunikasi). Sementara itu kecakapan hidup dan kerja yang relevan dan sesuai, dan ini sudah lama kita tahu, tergolong dalam tiga kategori: learning skills (critical thinking, creativity, collaboration, dan communication), literacy skills (information, media, dan technology literacy) dan life skills (fl exibility, leadership, productivity, initiative skill dan social skill).
Selanjutnya, berkaitan dengan pendidikan tinggi, menarik untuk disimak hasil penelitian Tom Nichols dalam bukunya Th e Death of Expertise: Campaign against established knowledge and why it matters (2017). Ia mengingatkan bahwa dewasa ini ada berbagai fenomen yang menggerogoti kewibawaan dari para ahli, dan hal ini menantang secara serius dunia pendidikan tinggi. Dewasa ini arus informasi sedemikian besar, pengetahuan sangat mudah sekali diperoleh, dan generasi muda cenderung pada yang ringkas dan praktis saja serta menjadikan “apa yang menyenangkan” sebagai takaran. Hal itu menciptakan kondisi seakanakan keahlian tidak lagi relevan atau tidak diperlukan. Berkembanglah anti-expertise sentiment and anti-intellectualism. Dalam penelitiannya Nichols mengatakan bahwa Amerika Serikat sedang menjadi a country “obsessed with the worship of its own ignorance” (tidak atau kurang tahu tapi menganggap diri tahu, tidak/kurang ahli tapi menganggap diri ahli). Orang Amerika mengambil sikap skeptis terhadap kaum intelektual dan para ahli. Dalam konteks Indonesia, era disrupsi membuka peluang bagi lembaga pendidikan tinggi untuk membantu para tenaga ahli (dosendosen) agar menjadi well-informed experts dengan kemampuan untuk memberikan solusi-solusi yang tepat terhadap masalah yang dihadapi masyarakat.
Ketiga, dalam uraiannya mengenai disrupsi sebagai gangguan, Fukuyama menunjuk fenomena seperti tindak kejahatan dan persoalanpersoalan menyangkut kehidupan keluarga sebagai indikator adanya gangguan terhadap tata sosial masyarakat. Fukuyama merefl eksikan kondisi sosial masyarakat Amerika Serikat, tetapi sesungguhnya hal yang sama dapat dikatakan tentang masyarakat kita. Selanjutnya, masyarakat Indonesia kontemporer sedang mengalami gangguan lain, yaitu bertumbuhnya eksklusivisme dalam komunitas-komunitas agama. Wujudnya yang konkret ialah radikalisme, fundamentalisme, ekstrimisme, dan terorisme. Kesamaan dari semua paham tersebut ialah agama menjadi instrumen untuk menyempitkan lingkaran humanitas. Kemanusiaan universal ditarik secara sentripetal, sehingga menyempit dan tertutup hanya pada komunitas sendiri. Dalam kenyataannya, dengan kekerasan kaum radikalis dan fundamentalis menolak dialog secara rasional. Rasionalitas menurut common sense cenderung diabaikan. Kondisi ini membahayakan iklim akademik dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hanya masyarakat yang terbuka dan rasional dapat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan menghargai dunia akademik. Oleh karena itu, komitmen kalangan perguruan tinggi untuk menolak radikalisme sudah tepat. Namun lebih daripada itu dibutuhkan langkah konkret lain, misalnya kerja sama perguruan tinggi dengan lembagalembaga masyarakat dan komunitas-komunitas lintas agama yang bergerak dalam interfaith dialogue and multiculturalism promotion. Dalam konteks itu, pernyataan pimpinan perguruan tinggi se-Indonesia di Denpasar pada tanggal 26 September 2017 untuk menolak radikalisme tidak saja penting bagi penegakan Pancasila dan penguatan nasionalisme, melainkan juga demi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Gagasan ini kiranya dapat menjadi dasar bagi pengelolaan secara baru kuliah Pancasila di perguruan tinggi dan keterbukaan kepada dialog dan kerja sama lintas agama serta budaya.
Keempat, corak positivistik dari standarisasi aktivitas penelitian dan penulisan karya ilmiah mau tidak mau diadopsi. Seperti sudah dikatakan di atas, standarisasi itu membakukan suatu sistem yang dianggap sebagai cara penjaminan mutu produk perguruan tinggi. Akan tetapi dari perspektif semangat inovasi disruptif, setiap perguruan tinggi perlu melampaui standar-standar yang ditentukan. Dua pokok dapat didiskusikan lebih lanjut. Bagi setiap peneliti dan penulis, kemampuan untuk berpikir kritis dan terbuka bagi dialog sudah semestinya menjadi kompetensi dasar. Tetapi integritas moral harus pula dijadikan sebagai roh atau jiwa bagi setiap peneliti dan penulis. Selanjutnya, rencana induk penelitian hendaklah menunjuk bidang-bidang dan sasaran yang melampaui apa yang telah menjadi standar Dikti. Dalam hal penelitian, tidak ada salahnya perguruan tinggi di daerah menjadi “jago kampung” atau “hebat di daerah sendiri”. Maksudnya, penelitian perlu kontekstual, meneropong dan menelaah kebutuhan dan pokok keprihatinan masyarakat setempat yang mungkin diabaikan atau tidak dilirik oleh institusi penelitian dan perguruan tinggi yang besar. Hasil penelitian itu dikemukakan kepada pemerintah daerah agar menjadi dasar kebijakan demi kepentingan masyarakat setempat. Atas cara itu, lembaga pendidikan tinggi dan penelitiannya turut berperan dalam transformasi masyarakat. Masyarakat pada gilirannya merasa diperhatikan dan diuntungkan. Atas cara itu masyarakat setempat mengalami relevansi dari eksistensi perguruan tinggi, sehingga dipercaya sebagai mitra yang dapat diandalkan. Sejalan dengan itu pula, institusi pendidikan tinggi memiliki signifi kansi secara riil. Implikasinya, tidak semua perguruan tinggi mesti memiliki relevansi dan signifi kansi secara nasional dan internasional. Jadi, era disrupsi memberikan inspirasi kepada perguruan tinggi di daerah untuk mengarahkan penelitiannya kepada masalah-masalah fundamental yang dihadapi masyarakat dan pemerintah daerah setempat.
Menjelang akhir abad ke-20 muncul postmodernisme dengan muatan kritik terhadap modernitas. Postmodernisme menjadi pandangan yang membantu kita untuk memahami perubahan-perubahan kultural dalam era gobalisasi. Tema-tema seperti multikulturalisme, jati diri, dan politik identitas, cukup mudah dipahami berkat paham postmodernisme.
Kini disrupsi mengambil tempat. Apapun pengertiannya, disrupsi paling tidak telah membantu kita untuk melihat dengan lebih tajam gelombang perubahan yang sedang melanda dunia dan masyarakat dan untuk menanggapi secara positif perubahan-perubahan tersebut. Walaupun demikian, tersirat dalam tulisan ini bahwa disrupsi bukanlah segalanya.25 Seperti halnya dengan postmodernisme, disrupsi terutama menjadi instrumen konseptual untuk memahami perubahan-perubahan yang sedang terjadi karena perkembangan teknologi informasi. Baik sebagai instrumen konseptual maupun suatu era, saya yakin bahwa disrupsi tidak bernilai perenial, artinya suatu hari ke depan teori disrupsi pun akan berlalu.
Kendati coraknya yang “temporer”, konsep disrupsi kiranya telah membantu kita untuk mengidentifi kasi kondisi aktual dunia dan masya rakat di era teknologi informasi yang sarat dengan inovasi-inovasi dan kreativitas. Hal terpokok ialah teori disrupsi menjadi instrumen untuk meneropongi realitas perguruan tinggi dan ilmu pengetahuan dalam relasi dengan dinamika sosial masyarakat. Pada akhirnya agenda utama kita ialah memikirkan kembali model dan tata kelola perguruan tinggi sebagai lembaga pengembang ilmu pengetahuan dan sumber inspirasi bagi transformasi masyarakat.
Ilmu pengetahuan dan teknologi masih akan terus berkembang dengan pesat dan menawarkan aneka macam perubahan. Seperti yang sudah dialami, inovasi teknologi secara langsung berdampak pada paham manusia tentang eksistensi dan makna hidup, pada relasi dan komunikasi, serta pada cara kerja dan cara memimpin. Pada dasar semua kebaruan dan perubahan itu, manusia tetaplah manusia.*
DAFTAR PUSTAKA
Christensen, Clayton M. Th e Innovator’s Dilemma: When Technologies Cause Great Firms to Fail. Boston, Massachusetts: Harvard Business School Press, 1997.
Christensen, Clayton M. “Disruptive Innovation and Catalytic Change in Higher Education.” In Forum for the Future of Higher Education (2008), hlm. 43-48.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia, 2007.
Fukuyama, Fancis. Th e Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order. London: Profi le Books, 1999.
Kasali, Rhenald. Disruption: Tak ada yang tak bisa diubah sebelum dihadapi, Motivasi saja tidak cukup. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017.
King, Andrew A. and Baljir Baatartogtokh, “How Useful is the Th eory of Disruptive Innovation?”. In MIT Sloan Management Review (Fall 2015).
Polanyi, Michael. Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan. Terjemahan Mikhael Dua. Jakarta: Gramedia, 1996.
Smith, Robert H. “Th e Myth of “Disruptive Innovation.” Dalam https://www.rhsmith.
umd.edu/news/myth-disruptive-innovation/, diunduh pada tanggal 7 Oktober 2017.
Di tulis oleh Roymon Panjaitan, SE, Ak, MM
Sekolah Tinggi Elektronika dan Komputer (STEKOM)
Jl. Diponegoro, No 3-5, Ungaran, Kec Ungaran, Jawa – Tengah.
[ISI OPINI TANGGUNG JAWAB PENULIS]