Akuntabilitas dalam menangani pandemi covid-19 menjadi penting diperhatikan dan diutamakan oleh pemerintah dan semua kalangan termasuk oleh maasyarakat itu sendiri. Penanganan covid-19 merupakan bagian dari penanganan darurat, perlu untuk diperhatikan aspek-aspek dalam tata kelola, harus tetap menjadi prioritas dalam rangka meningkatkan efektivitas keberhasilan dalam pelaksanaannya di satu sisi dan mengurangi dampak negatif di sisi lain.
Akuntabilitas merupakan bagian dari konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia. Bank Dunia membuat enam indikator dari good governance, yakni (a) voice and accountability; (b) political stability and absence of violence; (c) government effectiveness; (d) regulatory quality; (e) rule of law; and (f) control of corruption (Kaufmann et al., 2003: 8–9).
Akuntabilitas merupakan salah satu indikator yang penting dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Bank Dunia menggunakan istilah voice and accountability, yang dapat diartikan sebagai suara publik atau partisipasi publik dan akuntabel. Akuntabilitas, membutuhkan adanya partisipasi publik pada spektrum yang kuat untuk melahirkan kebijakan publik yang lebih bagus.
Dalam penanganan covid-19, pemerintah perlu memastikan akuntabilitas semua proses kepada rakyat sebagai pemberi mandat kepercayaan. Sejumlah ruang akuntabilitas yang perlu dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut:
Pertama, akuntabilitas kebijakan covid-19. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan PPKM yang singkatan dari Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang digolongkan menjadi 4 level yaitu, dalam menangani covid-19 di Indonesia.
Level ini ditetapkan berdasarkan asesmen level situasi pandemi, yang merupakan indikator untuk mengetatkan dan melonggarkan upaya pencegahan dan penanggulangan pandemi Covid-19. PPKM berdasarkan level tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 22 Tahun 2021 dan Inmendagri Nomor 23 Tahun 2021.
PPKM Level 1 Aturan mengenai PPKM di daerah tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 26 Tahun 2021.
Level 1: Pekerjaan non-esensial 75% kerja dari kantor, sudah divaksin Pekerjaan esensial beroperasi 100% dibagi menjadi 2 shift, Toko/ pasar dengan kapasitas 75% Pasar rakyat selain kebutuhan sehari-hari bisa buka dengan kapasitas 75% Pusat perbelanjaan seperti mall dan plaza bisa buka dengan kapasitas 75% dan tutup pukul 21.00 Pedagang kaki lima (PKL), barbershop dan sejenisnya bisa buka sampai pukul 20.00 Warung makan, PKL, lapak jajanan di ruang terbuka boleh beroperasi dengan kapasitas 75 persen dan buka hingga pukul 21.00. Tempat ibadah dibuka dengan kapasitas 50 persen.
Level 2: Pekerjaan non-esensial 50% WFO jika sudah divaksin Pekerjaan esensial beroperasi 100% dengan dibagi menjadi 2 shift dengan protokol kesehatan ketat Toko atau pasar kebutuhan sehari-hari bisa buka dengan kapasitas 75% dan tutup pukul 21.00 Pasar rakyat selain kebutuhan sehari-hari bisa buka dengan kapasitas 75% dan tutup pukul 21.00 Pusat perbelanjaan seperti mall dan plaza bisa buka dengan kapasitas 50% dan tutup pukul 20.00 Pedagang kaki lima (PKL), barbershop dan sejenisnya bisa buka sampai pukul 20.00 Warung makan, PKL, lapak jajanan di ruang terbuka boleh beroperasi dengan kapasitas 50 persen dan buka hingga pukul 20.00. Sementara pengunjung yang makan di tempat diberi batas waktu maksimal 30 menit. Restoran di ruang terutup bisa buka dengan kapasitas 50% Kegiatan belajar mengajar 50% daring dan 50% tatap muka Tempat ibadah dibuka dengan kapasitas 50%.
Level 3: Pekerjaan non-esensial kerja dari rumah atau work from home (WFH) Pekerjaan esensial beroperasi 100% dengan dibagi menjadi 2 shift dengan protokol kesehatan ketat Toko atau pasar kebutuhan sehari-hari bisa buka dengan kapasitas 50% dan tutup pukul 20.00 Pasar rakyat selain kebutuhan sehari-hari bisa buka dengan kapasitas 50% dan tutup pukul 15.00 Pusat perbelanjaan seperti mall dan plaza bisa buka dengan kapasitas 25 persen dan tutup pukul 17.00. Sementara pengunjung yang makan di tempat diberi batas waktu maksimal 30 menit. Restoran di ruang terutup hanya melayani take away/delivery Kegiatan belajar mengajar 100% daring Tempat ibadah dibuka dengan kapasitas 25%
Level 4 periode 26 Juli-2 Agustus 2021 diatur dalam Inmendagri Nomor 24 Tahun 2021. Pekerjaan non-esensial kerja dari rumah atau work from home (WFH) Pekerjaan esensial beroperasi 50% dengan dibagi menjadi 1 shift dan 100% WFO untuk untuk kritikal dengan protokol kesehatan ketat Toko atau pasar kebutuhan sehari-hari bisa buka dengan kapasitas 50%, tutup pukul 20.00 Pasar rakyat selain kebutuhan sehari-hari bisa buka dengan kapasitas 25% dan tutup pukul 15.00 Pusat perbelanjaan seperti mall dan plaza tutup. Sementara pengunjung yang makan di tempat diberi batas waktu maksimal 30 menit. Tempat ibadah dilarang ada kegiatan berjemaah.
Dengan demikian, apakah kebijakan PPKM ini cenderung akuntabel (bisa dipertanggungjawabkan) kepada rakyat? Hal ini tergantung pada sejauh mana pendekatan ini akan efektif dalam penanganan covid-19 di Indonesia. Jika dalam perjalannnya ternyata PPKM tidak efektif dan membuat penyebaran covid-19 semakin bertambah besar, tentu saja publik perlu meminta pertanggungjawaban pemerintah dan ini juga termasuk membuat kebijakan baru yang lebih efektif dan akuntabel.
Akuntabilitas kebijakan covid-19 ini tidak hanya dilihat di tingkat Nasional, namun juga bagaimana pelaksanaan kebijakan di tingkat daerah. Sampai tulisan ini dibuat, baru dua propinsi yaPelaksanaan kebijakan covid-19 di tingkat daerah akan lebih terlihat oleh masyarakat di tingkat lapangan.
Kedua, akuntabilitas anggaran dalam penanganan covid-19. Akuntabilitas anggaran berkaitan dengan alokasi anggaran dan peruntukannya. Pemerintah pusat, misalnya, sesuai dengan PP No. 21/2020 mengalokasikan anggaran sebesar 405,1 Triliun rupiah untuk penanganan covid-19 di tingkat nasional. Sementara di tingkat daerah, masing-masing daerah mengalokasikan anggaran yang berbeda-beda dan tergantung pada kemampuan daerah dan tingkat keterpaparan covid-19 di daerah tersebut. Yang paling penting dari akuntabilitas anggaran ini adalah bagaimana penyelewengan dan korupsi dalam penggunaan angaran covid-19 bisa dihindari dan dicegah.
Ketiga, akuntabilitas data dan informasi covid-19. Data mengenai jumlah korban yang terinfeksi oleh covid-19 memang menjadi sesuatu yang sangat sensitif di masyarakat. Sampai tanggal 31/10/2021 data yang dipublikasikan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jumlah yang positif 4.244.358, Sembuh ada 4.088.635, Meninggal dunia ada 143.405, dan kasus aktif ada 12.318.
Karena itu, sangat penting bagi pemerintah sendiri untuk mengeluarkan data seakurat mungkin, sehingga data tersbeut akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Jika akuntabilitas data ini rendah, maka kepercayaan masyarakat kepada pemerintah juga akan menurun dalam penanganan covid-19 ini.
Keempat, akuntabilitas dalam penegakan hukum covid-19. Penegakan hukum covid-19 berkaitan dengan upaya pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan aturan-aturan yang ada dalam UU No. 6/2018, PP No. 21/2020, Permenkes No. 9/2020, dan Permenhub No. 18/2020. Dalam hal ini, keterlibatan aparat yang berwenang dalam penegakan hukum terhadap semua aturan yang ada dalam kebijakan tersebut menjadi sangat penting.
Pemerintah perlu memastikan bahwa semua aturan dalam pelaksanaan kebijakan untuk covid-19 ini harus dijalankan dengan baik dan benar. Begitupun juga apabila ada pelanggaran, hal ini tentu saja tidak boleh dibiarkan. Hal ini dikarenakan akan berdampak buruk pada penyebaran dan penularan covid-19 ke wilayah yang lebih luas. Jika penegakan hukum covid-19 tidak berjalan dengan baik, maka akuntabilitas penegakan hukum covid-19 akan cenderung rendah dan masyarakat bisa melakukan gugatan dalam bentuk class action.
Penulis : Weni Ikayanti.
NIM 191312687.
Mahasiswa Universitas Widya Mataram.