banner 468x60

Mahalnya Beaya Akreditasi!

 Opini
banner 468x60
Mahalnya Beaya Akreditasi!

Tiga tahun lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi. Peraturan ini menjadi bagian dari program Kampus Merdeka – Merdeka Belajar yang digagas Menteri Nadiem.

Kebijakan akreditasi yang baru menandai akhir dominasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) yang sebelumnya menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan proses akreditasi program studi dan institusi di pendidikan tinggi Indonesia. Saat ini, publik diberikan kesempatan untuk terlibat dalam proses akreditasi di pendidikan tinggi Indonesia melalui lembaga akreditasi mandiri (LAM).

Harapannya, LAM ini betul-betul independen. Tak hanya independen dalam hal penentuan parameter atau ukuran dalam akreditasi, tapi juga pembiayaan operasionalnya yang tak lagi bergantung ke negara. LAM diberikan wewenang hanya untuk mengakreditasi program studi. Sedangkan akreditasi institusi atau lembaga masih di bawah wewenang BAN-PT.

Joshua Hall, Profesor Ekonomi di Amerika mencatat bahwa LAM sudah ada di pendidikan tinggi Amerika sejak 1913. Keberadaannya telah memberikan kontribusi signifikan pada peningkatan kualitas dan daya saing perguruan tinggi dan program studi di Amerika. Bisa dibilang LAM menjadi salah satu kunci sukses Amerika menjadi negara dengan pendidikan tinggi dan perguruan tinggi terbaik dunia. Kesuksesan inilah yang ingin diduplikasi di Indonesia.

Sampai saat ini, sudah ada enam LAM yang diakui dan memiliki wewenang untuk memberikan akreditasi kepada program studi dengan beragam rumpun keilmuan. Keenam LAM ini, yaitu LAM Pendidikan Tinggi Kesehatan Indonesia, LAM Teknik, LAM Ekonomi Manajemen Bisnis dan Akuntansi, LAM Kependidikan, LAM Informatika dan Komputer, dan LAM Sain Alam dan Ilmu Formal. Lima LAM terakhir baru secara resmi beroperasi pada Maret 2022.

Bukan Tanpa Masalah

Kehadiran LAM bukan tanpa masalah. Masalah yang paling terasa adalah biaya akreditasi. Di LAM, proses akreditasi tak lagi gratis seperti di BAN-PT. Karena LAM harus membiayai sendiri operasionalnya, mereka menarik biaya kepada perguruan tinggi yang bermaksud mengajukan akreditasi program studinya.

Biaya akreditasi LAM juga tak murah. Ada sekitar lima jutaan rupiah untuk pendaftaran dan lebih dari 50 juta rupiah untuk biaya akreditasi per program studi. Belum lagi jika program studi tak puas dengan hasil akreditasi yang didapat dan ingin mengajukan banding ke LAM. Tarif untuk banding lebih dari 20 juta rupiah.

Biaya yang harus dibayar ke LAM tentu sangat memberatkan perguruan tinggi. Apalagi perguruan tinggi swasta yang masih banyak yang tertatih-tatih untuk tetap bertahan memberikan layanan pendidikan kepada anak bangsa.

Nyaris dalam setiap kesempatan saat pengelola LAM melakukan sosialisi, keberatan akan biaya akreditasi terus bergulir. Jawaban dari pihak pengelola LAM bisa beragam tapi pesannya sama bahwa jumlah biaya akreditasi itu murah atau terjangkau untuk kelangsungan program studi selama lima tahun.

Pernah disampaikan ilustrasi seperti ini. Jika biaya yang diminta 50 juta dan program studi memiliki 100 mahasiswa untuk akreditasi yang berlaku lima tahun, maka biaya yang dibebankan setiap mahasiswa “hanya” 100 ribu rupiah per tahun atau 50 ribu rupiah per semester. Mungkin biaya ini kecil untuk mayoritas perguruan tinggi negeri atau swasta besar. Namun, bagi sebagian besar perguruan tinggi swasta, 50 ribu atau 100 ribu rupiah sangatlah berarti.

Gelombang keberatan akan biaya akreditasi LAM yang mahal terus membesar. Puncaknya pada awal 2022, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) melayangkan keberatannya soal biaya akreditasi LAM ke pemerintah. APTISI juga menyeru seluruh perguruan tinggi swasta untuk tak mengajukan akreditasi ke LAM sampai tuntutan mereka diterima dan diberikan jalan keluar.

Tuntutan yang dilayangkan oleh APTISI dan banyak perguruan tinggi agar diberikan keringanan untuk biaya akreditasi LAM akhirnya direspons oleh pemerintah. Pada pertengahan 2022, pemerintah memberikan solusi dengan meluncurkan Program Bantuan Pemerintah untuk Transformasi Perguruan Tinggi. Program ini menyasar perguruan tinggi yang menghadapi kesulitan untuk membiayai proses akreditasi ke LAM.

Sejumlah kriteria ketat dibuat untuk menentukan program studi yang berhak mendapatkan bantuan biaya akreditasi dari pemerintah. Di antaranya adalah program studi masih berperingkat akreditasi B, C, Baik Sekali, atau Baik di perguruan tinggi yang bukan berperingkat akreditasi A atau Unggul.

Sayangnya, bantuan biaya akreditasi dari pemerintah hanya sementara. Dalam ketentuannya, bantuan ini hanya diperuntukkan untuk program studi yang habis masa akreditasinya di tahun 2022. Dengan kata lain, tidak ada kejelasan bantuan ini akan berlanjut untuk tahun-tahun ke depannya.

Tak Berkeadilan

Potensi biaya yang tak berkeadilan juga muncul pada akreditasi dua tahun pertama untuk program studi baru. Jadi, program studi yang baru dibuka wajib mengajukan akreditasi dua tahun setelah menerima mahasiswa baru. Sampai saat ini belum ada standar biaya khusus untuk akreditasi program studi baru. Jadi tetap ditagih 50 jutaan rupiah saat akan mengajukan akreditasi ke LAM.

Perlu diingat peringkat akreditasi yang digunakan saat ini yaitu Unggul, Baik Sekali, dan Baik. Peringkat ini menggantikan yang sebelumnya A, B, dan C. Dilihat dari indikator akreditasi seluruh LAM, hampir mustahil program studi baru meraih akreditasi Unggul. Untuk mendapatkan Baik Sekali pun sangat sulit. Hal ini dikarenakan mereka belum memiliki lulusan atau alumni. Poin lulusan memiliki bobot yang tinggi dalam penilaian akreditasi.

Tak adil rasanya, jika program studi baru yang nyaris tak mungkin mendapatkan peringkat akreditasi tertinggi harus merogoh kocek yang sama dengan program studi lainnya. Lagi-lagi biaya 50 jutaan rupiah untuk biaya akreditasi LAM bukan nominal yang kecil.

Harapan Besar

Tentu kehadiran LAM membawa harapan besar untuk peningkatan kualitas pendidikan tinggi Indonesia. LAM menghadirkan ukuran akreditasi yang lebih sesuai dengan bidang atau disiplin keilmuan program studi. Juga, LAM bisa lebih independen sehingga mampu mengakomodasi masukan dan suara dari publik terutama perguruan tinggi.

Namun, jangan sampai dampak positif dari kehadiran LAM menjadi nihil akibat biaya tinggi yang harus dibayar. Bantuan pemerintah untuk biaya akreditasi ke LAM harus terus berlanjut. Bahkan, kalau perlu dibuat permanen.

Penetapan biaya akreditasi yang dibebankan kepada perguruan tinggi juga harus menjunjung rasa keadilan. Misal, biaya untuk akreditasi program studi baru dibuat lebih rendah. Kemudian, ukuran lain bisa digunakan untuk menentukan biaya akreditasi sehingga sesuai dengan kemampuan perguruan tinggi.

Tidak sedikit lembaga akreditasi internasional yang menetapkan ukuran tertentu dalam menentukan biaya akreditasi. Beberapa di antaranya jumlah mahasiswa, SPP mahasiswa, dan pemasukan (income) program studi. Selain itu, bisa saja model prosesnya tidak per program studi tapi dengan kluster. Jadi satu proses akreditasi dilakukan untuk beberapa program studi sejenis sekaligus. Model kluster akan membuat proses akreditasi menjadi lebih efisien tidak hanya dari sisi biaya, tapi juga waktu dan tenaga.

Taufik Mulyadin lulusan Doktor di Bidang Manajemen Pendidikan Tinggi The Ohio State University, Amerika Serikat

SUMBER :  https://news.detik.com

banner 468x60

Author: 

Related Posts

Tinggalkan Balasan