![Eko Wiratno[Pendiri EWRC] : Indahnya Kemerdekaan?](https://arwiranews.com/wp-content/uploads/2020/05/WhatsApp-Image-2020-05-15-at-10.51.20-PM-372x300.jpeg)
Merdeka berasal dari bahasa Sansekerta mahardhika yang berarti rahib/biku atau keramat, sangat bijaksana/ alim. Pengertian tersebut sering pula dikaitkan dengan kesucian yang melekat dalam diri sang biku. Sebuah jabatan prestisius keulamaan dalam agama budha. Itu berarti ada proses otonomisasi individu, telah melepaskan diri dari belenggu yang merampas kekeramatan dan kehormatannya. Atau dengan kata lain merdeka bisa diinterpretasi sebagai realitas baru masing-masing individu atau rakyat terlepas dari segala bentuk keterkungkungan. Dalam konteks demikian, merdeka atau kemerdekaan adalah fitrah manusia dimanapun dan kapanpun. Bahwa masih ada individu/ rakyat yang belum merdeka sama halnya dengan dehumanisasi kemerdekaan itu sendiri. Legal-formal atau politis- yuridis Indonesia memang sudah merdeka. Tetapi bagaimana secara kultural, sosiologis dan ekonomi?
Benarkah kemerdekaan itu telah dirasakan sebagai sebuah kesaksian individual? Jawabaanyapun pasti beragam. Stratifikasi bahkan segregasi sosial turut pula menciptakan suasana merasakan kemerdekaan itu berbeda-beda pula. Bagi mereka yang banyak memperoleh previlise, maka suasana ‘mahardhika’ adalah realitas empirik. Sementara bagi yang masih terus bergulat dengan kemiskinan dan ketidakpastian hidup, merdeka adalah cita-cita maha panjang dalam rute perjalanan nan terjal. Nelson Mandela ketika dilantik menjadi Presiden Afrika Selatan dengan berbesar hati mengajak sang sipir yang pernah mengencinginya ketika di penjara duduk satu meja berdampingan. Mahatma Gandhi berusaha tetap tersenyum santun kepada serdadu Inggris yang menginterogasi kendatipun tuduhan aksi pemberontakannya tak terbukti. Bung Hatta tetap bersikukuh membungkus dalam-dalam rahasia kekecewaaanya kepada Bung Karno, tanpa seorangpun tahu hingga akhir hayatnya. Adalah sederet bukti, kearifan-kearifan sang biku dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya.
Kearifan lokal kaum nasionalis tersebut seakan memantulkan harga diri sebuah bangsa. Kendatipun hidup tertindas dan tertekan, tidak menjadikan mereka kalap dan buta. Ketidakadilan adalah inspirasi paling produktif untuk merekonstruksi strategi dan mekanisme resistensi. Tidak mungkin proses eliminisasi ketimpangan-ketimpangan sosial itu sekali jalan dan selesai. Namun itu juga tidak berarti merajalelanya ‘crime againt humanity’ dibiarkan tanpa aksi peduli. Korupsi di kalangan esekutif dan legislatif mesti diakhiri. Pungli yang merebak dan membebani biaya produksi jelas harus distop. Nepotisme dan kolusi yang mendistorsi kontestasi fair di wilayah publik tidak boleh ditolerir lagi. Mengapa? Sebab segala bentuk deviasi sistemik seperti itu hanya menjauhkan kemerdekaan hakiki dari jangkauan rakyat.
Menuju Indonesia Baru
Kemerdekaaan adalah pintu gerbang, kata Bung Karno. Namun setelah pintu gerbang dibuka, mengapa pula Indonesia yang dicita-citakan belum kunjung tiba? Tujuh kali (setelah Pilpres 2019 lalu) Indonesia berganti nahkoda, akankah perjalanan kapal ini tiba di pelabuhan harapan? Pertanyaan yang tak mudah menjawabnya. Di kawasan Asia Tenggara, Thailand dan Philipina sudah belasan kali ganti nahkoda Sementara Singapura baru tiga kali dan Brunei sekali ganti pemimpinnya, tetapi negara mana yang lebih makmur secara ekonomis? Pasti mudah menebaknya. Itu berarti dimensi kuantifikasi suksesi kepemimpinan kurang memiliki korelasi yang signifikan untuk membandingkan pencapaian ‘welfare state’ dengan tingkat pergantian pimpinan nasionalnya. Eksperimen politik ini sekaligus ingin mengafirmasi apakah rakyat sudah berdaulat betul atau belum. Posisi rakyat yang berdaulat jelas akan menciptakan ruang kontrol yang ketat dan kuat bila sekali waktu terjadi ‘abuse of power’.
Pemerintahan yang kuat, tentunya sangat potensial bagi tercipta dan terselenggaranya roda pemerintahan yang stabil. Dan kestabilan merupakan harga mati bagi mengalirnya investasi domestik atau asing ke arena sektor produksi. Di sinilah fungsi pemerintahan harus jalan. Merupakan misi kemustahilan, jikalau ongkos yang trilyunan rupiah untuk penyelenggaraan pemilu tanpa diimbangi dengan output yang memuaskan. Melalui hadirnya pemerintahan yang aspiratif, kuat dan kapabel sangat diharapkan berbagai persoalan primer bangsa ini segera diatasi. Pengangguran yang mencapai puluhan juta lebih, rakyat yang hidup di bawah garis standar kemiskinan dan penegakan hukum harus lekas mendapat skala prioritas.
Janji politik bukanlah cek kosong tanpa implikasi. Terlebih andaikan dinding dan langit di atas mampu memantulkan siar ulang pernyataan mereka, maka tidak ada alasan untuk mengelabuinya. Demokratisasi di satu sisi merupakan kesempatan namun di lain sisi adalah penegasan sikap. Sikap tegas dalam pengambilan keputusan mesti didemontrasikan bukan diperjualbelikan. Ketegasan adalah perilaku lintas gender. Ia bukan stereotip laki-laki tapi perempuanpun bisa menjalankan. Dalam hal laki-laki bertindak tegas tidak terhitung jumlahnya dari George Washington hingga Donald Trump tinggal pilih dalam kapasitas apa. Begitupun perempuan dari Ratu Ester di Timur Tengah, Ratu Sima di Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah) hingga Margareth Thatcher dan Megawati dalam panggung politik modern semua bisa ditelusuri. Pertarungan siapa yang mesti memimpin Indonesia pasti akan berakhir. Namun yang tidak bakal berakhir adalah cita-cita Indonesia macam apakah yang hendak diwujud nyatakan.
Indonesia baru adalah abstraksi tentang sejumlah keinginan idealistik seperti halnya empat cita-cita nasional dalam preambule Undang-undang Dasar 1945 pra atau pasca amandemen. Mungkinkah itu nanti terimplementasi dalam lima tahun masa pemerintahan presiden terpilih 2019? Rasa-rasanya tidak mungkin. Namun satu hal yang jelas, ada babakan baru yang sudah mereka kerjakan. Perubahan harus dimotori pemimpin. Sangat tidak mungkin rakyat mau berubah jika pemimpin tidak memberi stimulasi adanya perubahan tersebut. Rakyat atau umat harus merasa yakin bahwa sang pemimpin adalah penghela perubahan. Kearah mana? Kearah perbaikan kuantitas dan kualitas kehidupan.
Indonesia baru juga memerlukan hadirnya sang pemimpin dengan kualitas personal yang serupa. Ia lahir dari rakyat, bekerja bersama-sama rakyat untuk satu tujuan membuat hidup lebih baik. Pepatah Tiongkok mengilustrasikan demikian: Jika rakyat harus memilih manakah prioritas pedang, makanan atau pemimpin yang harus dibuang? Konghucu menjawab, pedang. Tinggal, makanan dan pemimpin. Mana yang mesti dibuang? Jawabnya, makanan. Rakyat tidak mungkin kelaparan, jika memiliki seorang pemimpin yang baik. Adakah pilpres yang baru kita lewati kemarin, menghadirkan sang pemimpin seturut dengan harapan rakyat? Perubahan menuju hidup yang lebih baik ataukah sebaliknya? Klaten, 10 Agustus 2020. Penulis adalah Pimpinan Redaksi arwiranews.com