Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi sorotan utama ketika dilangsungkan pesta demokrasi baik Pemilu maupun Pilkada. Paling tidak ada dua alasan kenapa ASN selalu menjadi sorotan dalam perhelatan demokrasi khususnya Pilkada. Pertama, karena secara normatif ada tuntutan bagi ASN untuk selalu bersikap netral. Kedua, karena secara politik, ASN merupakan modal politik yang sangat menjanjikan bagi masing-masing calon Kepala Daerah untuk di mobilisasi. Perlu kita ketahui Pilkada 9 Desember 2020 nanti akan di gelar di 270 Daerah, yang meliputi 9 Pilihan Gubernur, 224 Pilihan Bupati, dan 37 Pilihan Walikota tersebar ditanah air.
Dalam Pasal 1, UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, ASN terdiri dari dua, yakni Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Dengan Perjanjian Kerja Yang Bekerja Pada Instansi Pemerintah. ASN secara umum dibagi menjadi ASN yang memiliki tugas pelayanan terhadap masyarakat yang bekerja di instansi-instansi pemerintah, khususnya pemerintahan daerah.
Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 telah cukup mengatur mengenai larangan bagi pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan Kepala Desa atau Lurah untuk membuat keputusan yang menguntungkan dan merugikan salah satu pasangan calon. Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota juga dilarang untuk melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatannya kecuali mendapat persetujuan dari Menteri. Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dilarang menggunakan program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) dan (3) akan berujung pembatalan sebagai Calon oleh KPU setempat.
Pengawasan yang dilakukan terhadap proses Pilkada ini dilakukan oleh dua pihak, yang pertama adalah Badan Pengawas Pemilu yang memang memiliki kewenangan untuk mengawasi jalannya proses pemilu dan Pilkada. Pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu penekananya lebih pada pengawasan represif. Artinya jika ada temuan atau laporan dari masyarakat maka Bawaslu akan menindaklanjuti. Kedua, adalah pengawasan yang dilakukan oleh atasannya, dalam hal ini jika Gubernur yang melakukan pelanggaran, maka yang berwenang adalah Mendagri. Jika Bupati atau Walikota yang melanggar maka yang berwenang adalah Gubernur.
Pengawasan yang dilakukan oleh Mendagri terhadap Gubernur dan Gubernur terhadap Bupati/Walikota lebih pada pengawasan preventif. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 bahwa Gubernur, Bupati, Walikota dilarang menggunakan program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Program atau kegiatan yang menguntungkan pasangan calon ini akan diatur dalam Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah. Misalnya Bupati atau Walikota membentuk Peraturan Bupati/Walikota dan Peraturan Bupati/Walikota itu menguntungkan salah satu pasangan calon, maka Gubernur harus menggunakan kewenangan pengawasan preventifnya untuk tidak memberlakukan Peraturan Bupati/Walikota itu.
Pengawasan preventif terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah merupakan kewenangan dari Mendagri terhadap Perda Provinsi atau Peraturan Gubernur dan Gubernur terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota untuk menilai substansinya sebelum Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota diberlakukan. Karena Perda Provinsi, Kabupaten/Kota serta Pergub, Perbup dan Perwali diawasi secara preventif oleh Mendagri atau Gubernur maka Perda dan Pergub, Perbup dan Perwali tersebut masih berbentuk rancangan.
Pengawasan oleh atasan secara preventif, yakni Mendagri terhadap Gubernur dan Gubernur terhadap Bupati/Walikota akan menjadi masalah jika antara Mendagri dan Gubernur serta antara Gubernur terhadap Bupati/Walikota berasal dari parpol atau koalisi parpol yang sama. Oleh karena itu, terdapat problematik terhadap pengawasan preventif yang dilakukan secara hierakhis. Dengan demikian, pengawasan terhadap jaminan netralitas ASN bisa dilakukan secara represif oleh Bawaslu. Pelanggaran pemilu dan pilkada bisa dilakukan berdasarkan temuan dan laporan. Temuan merupakan temuan pelanggaran yang ditemukan oleh Bawaslu, sedangkan laporan merupakan laporan dari masyarakat. Sekarang ini Bawaslu sedang menggalakkan pengawasan pemilu berbasis partisipasi atau yang lebih dikenal dengan pengawasan partisipatif. Tujuan dari pengawasan partisipatif adalah agar masyarakat aktif untuk melaporkan dugaan pelanggaran pemilu kepada Bawaslu.
Problematika dari Pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu adalah Bawaslu hanya bisa memberikan rekomendasi kepada Komisi ASN untuk memberikan sanksi kepada ASN yang melanggar. Sehingga kewenangan untuk memberikan sanksi bukan ada pada Bawaslu tetapi kepada Komisi ASN. Dan rekomendasi Bawaslu ini tidak mengikat. Rekomendasi Bawaslu mengikat hanya kepada KPU. Karena jika KPU tidak menindaklanjuti rekomendasi dari Bawaslu, maka KPU bisa dilaporkan ke DKPP.