
Apa yang dimaksud Petani Milenial? Milenial mungkin kata yang tidak asing lagi ditelinga kita saat ini. Milenial merupakan kelompok demografi setelah generasi X, dimana tidak ada batasan waktu yang pasti untuk awal dan akhir kelompok ini. Pada generasi ini biasanya ditandai dengan adanya peningkatan penggunaan dan kemampuan penguasaan terhadap komunikasi, media dan teknologi yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Pengertian dari petani milenial saat ini adalah petani yang berusia 19-39 tahun dan memiliki tujuan untuk mensejahterakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bidang pertanian khususnya di Indonesia sendiri masih sedikit peminat. Khususnya untuk generasi milenial, mereka masih beranggapan bahwa pertanian itu memiliki image yang harus berkotor-kotoran, tidak menjanjikan atau terlalu tradisional. Namun, jika kita bahas secara lebih mendalam justru bidang pertanian menjadi sektor yang harus dioptimalkan. Apalagi di era pandemi seperti sekarang, dimana kita perlu mendapatkan asupan gizi yang baik untuk menjaga imunitas tubuh.
Belum usai dengan Revolusi Industri 4.0, yang dibarengi dengan perkembangan era disrupsi, tiba-tiba kita dikejutkan dengan munculnya Society 5.0 (masyarakat 5.0). Society 5.0 adalah masyarakat yang dapat menyelesaikan berbagai tantangan dan permasalahan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era Revolusi industri 4.0 seperti Internet on Things (internet untuk segala sesuatu), Artificial Intelligence (kecerdasan buatan), Big Data (data dalam jumlah besar), dan robot untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Lalu, siapkah petani milenial Indonesia menyongsong era Society 5.0? Jika pertanyaan ini muncul maka jawaban yang mungkin dapat disampaikan adalah Ya, harus siap. Seperti halnya MEA dan pasar bebas dunia, mau tidak mau harus mengikuti. Namun, kita perlu menyesuaikan konsep tersebut terhadap kondisi demografi maupun geografis.
Untuk di Indonesia sendiri kebanyakan petani milenial saat ini lebih memilih konsep pertanian secara organik. Konsep pertanian tersebut lebih selaras dengan kondisi alam. Mereka beranggapan selama ini petani konvensional seakan mengabaikan kondisi alam, seperti penggunaan pestisida maupun pupuk anorganik yang tidak terukur. Petani konvensional lebih fokus terhadap hasil, karena beberapa petani merupakan petani penggarap yang harus membayar sewa setiap tahun. Hal inilah yang perlu diubah secara maindset oleh petani milenial, dimana tetap bertujuan untuk mendapat keuntungan namun juga mengaplikasikan konsep pertanian yang selaras dengan alam.
Petani milenial selain harus menguasai Revolusi Industri 4.0, sekarang mereka juga harus menguasai konsep Society 5.0. Dimana petani milenial harus dapat menyelesaikan masalah pada sektor pertanian di tempat dimana ia berada.
Petani milenial kota harus mengaplikasikan konsep pertanian yang sesuai dengan wilayah perkotaan, salah satunya adalah Urban Farming. Urban Farming selain memberi manfaat secara finansial juga bermanfaat dalam berkontribusi terhadap lingkungan. Petani milenial desa harus mengoptimalkan konsep pertanian terpadu (Integrated Farming) sehingga selain mendapat manfaat secara finansial juga bermanfaat dalam melestarikan alam.
Kondisi geografis di Indonesia juga mempengaruhi konsep pertaniannya. Contohnya pertanian di dataran tinggi berbeda dengan di dataran rendah hingga pesisir. Petani milenial harus menguasai teknologi agar mampu mengoptimalkan wilayah-wilayah tersebut sehingga bermanfaat terhadap perekonomian, khususnya dalam pemenuhan gizi dan pangan daerah tersebut.
Selanjutnya, pada konsep Society 5.0 petani milenial menggunakan Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) dan robot dalam meningkatkan efisiensi dan effektivitas. Namun, perlu dilakukan kajian lebih lanjut dalam implementasi kedua hal tersebut karena akan berpengaruh terhadap pengangguran. Sehingga penggunaan kedua hal tersebut perlu disesuaikan dengan kebutuhan wilayahnya.
Kemudian penerapan Internet on Things (internet untuk segala sesuatu) dan Big Data (data dalam jumlah besar) dalam bidang pertanian. Sebagai petani milenial hal ini perlu dioptimalkan, karena dengan memaksimalkan kedua hal tersebut akan mengubah image bahwa pertanian itu tidak menjanjikan.
Contonya dengan memanfaatkan internet untuk menjual hasil panen maka akan mempercepat perputaran modal dan memaksimalkan keuntungan karena hasil panen akan langsung habis lebih cepat. Apalagi dengan konsep pre-order akan membuat hasil panen terjual sebelum pemanenan dilakukan. Kemudian konsep internet yang dikombinasikan penggunaannya dengan Big Data, dapat membantu penjualan hasil panen terserap secara optimal. Konsep tersebut mengharuskan petani milenial tidak hanya pandai dalam budidaya tapi juga pandai dalam bisnis. Sehingga dengan memiliki data klien seperti restoran atau rumah makan maka teknis secara budidaya akan terarah pada produk yang akan disuplai ke klien tersebut.
Era Society 5.0 akan mengubah image terhadap dunia pertanian dahulu, sehingga image yang sekarang adalah petani milenial di era Society 5.0 tidak hanya sebagai petani budidaya namun juga sebagai petani yang menguasai bidang bisnis. Jadi, petani milenial Indonesia harus siap menyongsong era Society 5.0.
Oleh: Agus Dwi Andita
Mahasiswa Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Boyolali