Luthfi Azizatunnisa’ adalah seorang dosen muda di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sejak tahun 2019. Menurutnya ia adalah pengguna kursi roda pertama yang diterima menjadi dosen di Fakultas Kedokteran. Luthfi memiliki kondisi tetraplegia dengan kelumpuhan anggota gerak tangan dan kaki.
“Jari-jari tangan saya masih lemah dan genggaman saya juga masih lemah, sehingga saya mengayuh kursi roda dengan telapak tangan,” kata Luthfi. Ketika masih menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo di tahun 2011, Lutfi yang saat itu berusia 19 tahun, mengalami kecelakaan ketika motor yang dikendarainya menabrak mobil saat hendak pergi kuliah dari rumahnya di Klaten ke Solo.
Akibatnya ia harus cuti panjang dari kuliahnya namun berhasil menyelesaikan pendidikan sebagai sarjana kedokteran. Tapi Luthfi mengatakan ia tidak bisa melakukan program ‘coas’, yakni bekerja di rumah sakit selama beberapa tahun sebelum disumpah menjadi dokter, akibat kondisinya.
Kemudian ia memutuskan melanjutkan pendidikan S2 di UGM di jurusan Kesehatan Masyarakat dan sekarang menjadi dosen muda di sana. “Ya karena sulit untuk melanjutkan ke jalur klinis, saya musti banting setir menjadi peneliti dan kemudian menjadi dosen,” kata Luthfi yang sekarang berusia 29 tahun tersebut.
Dalam berinteraksi dengan mahasiswa dan saat berkegiatan di kampus, Luthfi mengaku kadang dia lupa jika dirinya adalah penyandang disabilitas. “Saya tidak mengalami diskriminasi dalam hal pekerjaan. Saya kebetulan dipercaya dan terlibat di berbagai tim di fakultas.” “Beban pekerjaan saya sama saja dengan yang lainnya.” katanya.
Lutfhi sekarang berusaha melakukan advokasi pribadi agar masyarakat melihat jika penyandang disabilitas adalah juga warga biasa.
Menurutnya pembelajaran mengenai disabilitas perlu ditanamkan sejak kecil di Indonesia. “Saat ini sebagian besar warga di indonesia menganggap kalau orang pakai kursi roda ya sakit.” “Oleh karena itu saya sering posting di media sosial bahwa orang dengan disabilitas harus tampil, harus terlihat, harus dilihat orang agar orang lain juga sadar dengan keberadaan mereka,” tambahnya.(Sumber https://www.abc.net.au/indonesian/2020-12-03/warga-difabel-indonesia-masih-dianggap-beban-masyarakat/12942512)