PASCA paket Oktober 1988 menjadikan kreativitas dan inovasi produk perbankan semakin beraneka ragam sekaligus adanya peningkatan pemanfaatan teknologi informasi komputerise yang mulai diterapkan membuat administrasi menjadi tertata tertib dan akurat, pelayanan bank menjadi semakin membaik. Sehingga DPK pun ikut menjadi meningkat tajam, namun menjadi fakta bahwa bank bank yang muncul di era Pakto 88 sepertinya sebagian besar dikuasai oleh para konglomerat dan masa itu perekonomian lebih memanjakan para konglomerat sehingga perekonomian lebih terfokus pada bisnis konglomerasi dan kurang perhatiannya kepada para golongan usaha wong cilik seperti Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Pakto 88 memang membawa berkah bagi sejumlah konglomerat seperti Mochtar Riady yang mendirikan Bank Lippo dan William Soerjadjaja (Group Astra) dengan Bank Summa. Mooryati Sudibyo mendirikan Bank Ratu, Aburizal Bakrie dengan Bank Nusa. Demikian juga tidak ketinggalan putra putri Soeharto pun masuk ke bisnis perbankan. Seperti Bambang Trihatmojo memiliki Bank Andromeda sementara Siti Hardiyanti Rukmana memiliki Bank Yama dan lainnya.
Perkembangan perbankan paska Pakto 88 bertumbuh dengan kandungan borok boroknya bagaikan ada virus penyakit yang meng gerogotinya bisa jadi merupakan bom waktu yang bisa meledak setiap waktu. Sebagaimana pendapat ekonom Sri Tua Arief dari Universitas Gajah Mada melihat ada empat menjadi penyebab banyak bank bermasalah ketika terjadinya krisis finansial Asia tahun 1997 yang berawal dari Thailand (Bisnis Indonesia, 11 Februari 1997) meliputi: Pertama, banyak bank di era Pakto 88 yang dikuasai oleh konglomerat. Akibatnya berkembang praktik insider lending atau pemberian kredit untuk kelompok usaha sendiri. Inilah yang menyebabkan ketidak sempurnaan dalam pasar kredit menjadi bertambah parah. Praktek insider lending sendiri adalah hal terlarang di dunia perbankan.
Kedua, bank-bank yang dikuasai konglomerat dianggap bertanggung jawab atas tingginya tingkat bunga perbankan. Karena tingkat penentuan suku bunga pinjaman dan deposito tidak lagi didasarkan atas kekuatan murni pasar sehingga terjadi distorsi dalam penentuan harga modal finansial. Kondisi ini diperparah dengan batasan alokasi kredit yang dikucurkan untuk group bisnis sang konglomerat pemilik bank sehingga mekanisme pasar kredit makin tidak sempurna. Inilah yang dianggap sebagai penyebab kredit macet yang menumpuk.
Ketiga, Kepemilikan perbankan oleh konglomerat memperkuat status quo kesenjangan penguasaan sumber sumber ekonomi lewat pemilikan perbankan ini. (Keempat) banyaknya investasi oleh bank bank konglomerat ini di sektor-sektor komoditas kemewahan cenderung kurang produktif seperti perkantoran mewah atau lapangan golf yang menyebabkan terjadinya kemubaziran nasional dalam penggunaan modal dan investasi. Kemungkinan bisa saja terjadi dalam mengejar building image dan proyek prestisius dalam kelompok group bisnisnya yang didanai dengan pendanaan bank kelompoknya sendiri terjadi praktek praktek yang tidak sehat dengan menggelembungkan penganggaran nilai proyek bangunan untuk dipergunakan kembali memperkuat permodalan banknya, sehingga kelihatan seolah olah modalnya menjadi besar dan kuat.
Membuat modal intinya menjadi semu tidak menggambarkan kondisi yang seharusnya maka akan berpengaruh pada kesehatan bank yang sesungguhnya rentan dan keropos seperti menanamkan virus penyakit dalam tubuh perbankan. Apakah kemungkinan ada praktek praktek yang tidak sehat seperti itu terjadi dimasa lalu, siapa tahu. Sehingga berpotensi setiap saat bank akan menderita demam bila terjadi gejolak dan masalah dibidang keuangan akan membuat perbankan bisa lunglai dan meledak setiap saat karena sudah ada kandungan penyakit kronis. Maka, dengan mudah perbankan akan menjadi rontok bila ada hempasan krisis keuangan yang bisa saja terjadi setiap saat yang datangnya dengan tiba tiba. Dengan demikian secara jangka panjang terbukti kurang sempurnanya Pakto 88 karena cenderung dibuat secara tergesa gesa tanpa memperhitungkan risiko internal dari risiko eksternal yang biasanya bisa saja datang dan mungkin timbulnya secara tiba tiba dikemudian hari.
Namun demikian, pemerintah orde baru yang lebih focus kebijakannya pada pengembangan bisnis konglomerasi, namun juga menyadari pentingnya memperhatikan penembangan pengusaha ekonomi lemah berupa pemberian Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) yang merupakan program Bank Indonesia (BI) pada saat itu.
Dipastikan masih banyak yang ingat kredit program bantuan BI sebagai salah satu solusi alternative dari pemerintah untuk membantu modal usaha para wiraswasta. Maka dari itulah melalui perbankan meluncurkan KIK yang merupakan jenis kredit yang diberikan oleh bank kepada para wiraswasta atau pengusaha dalam jangka waktu menengah maupun panjang untuk penambahan modal usaha baik untuk meningkatkan usaha lamanya maupun perluasan usaha baru bahkan rehabilitas asset yang sudah ada. Dengan jangka waktu pinjaman yang relative panjang diatas kisaran 5 tahun s/d 8 tahun. Sedangkan KMKP diberikan berkaitan dengan kebutuhan modal kerja untuk tujuan produksi maupun perdagangan dan jasa dengan jangka waktu kisaran 3 tahun. Bahkan ada dikucurkan kredit untuk para tengkulak yang diberikan dalam bentuk kredit candak kulak.
Sebagaimana yang terjadi kemudian dengan hadirnya krisis moneter tahun 1997 yang bermula dari Thailand. Sekitar sepuluh tahun sejak kala itu meledak dahsyat menghantam perekonomian nasional yang ternyata demikian rapuh fundamentalnya. Demikian juga dengan kondisi perbankan nasional yang lemah yang sudah banyak mengandung borok borok berbagai virus mengerayangi tubuh perbankan nasional. Dengan menyeruaknya krisis keuangan tersebut yang datangnya tiba tiba berawal dari Thailand. Kemudian menyebar ke Indonesia di tahun 1998 terus berubah menjadi krisis perbankan sehingga banyak bank yang bertumbangan mengalami kebangkrutan atau ditutup yang bermetamorfosa menjadi krisis multidimensional, krisis ekonomi, krisis sosial bahkan menjadi krisis politik dengan lengser keprabonnya Jendral Soeharto sebagai presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan demikian berakhirlah rezim orde baru digantikan oleh rezim reformasi.
Seperti telah diungkapkan tersebut diatas dimana setelah kisaran sepuluh tahun Pakto 88 diluncurkan maka terjadilah krisis keuangan atau krisis moneter yang disingkat krismon yang melanda Asia, bermula dari Thailand di awal tahun 1997. Kala itu dimana mata uang baht terjangkiti virus yang membuatnya menjadi lunglai merosot nilainya terdepresiasi. Kemudian mewabah ke Indonesia dimana para petinggi RI berusaha menenangkan rakyat Indonesia yang mengatakan fundamental ekonomi Indonesia masih kokoh dan diyakini mampu menahan dan menghadang virus krismon yang bermula melanda negeri Gajah Putih Thailand. Padahal mata uang rupiah telah terimbas merosot terdepresiasi sejak bulan Mei 1997 dan pada periode tahun 1997 menembus level Rp4.650,- per US$ berlanjut hingga melemah mencapai Rp5.326,- pada Desember 1997.
Padahal perekonomian nasional kala itu cenderung memulai memanas dimana pada akhir tahun 1996 rupiah masih bertengger mantap di kisaran level Rp2.300,- per US$. Sehingga akhirnya pada bulan Juli 1998 benar benar terpuruk terjun bebas ambruk mencapai Rp14.965,- per US$. Mengingat fundamental perbankan nasional yang rapuh sudah terkena virus sehingga menyimpan borok akibat agresivitasnya yang justru melemahkannya. Sehingga tidak terelakkan perbankan nasional terguncang hebat dengan adanya wabah krismon yang menyebar dari Thailand ke Indonesia. Merupakan khabar buruk bagi perbankan nasional banyak pengusaha utamanya para konglomerat banyak yang mengalami kesulitan, jelas ini menimbulkan kepanikan yang hebat, kewajiban membayar hutang menjadi tersendat, uang kas yang dimiliki perbankan secara otomatis menjadi sangat terganggu merupakan salah satu dampak negative terlalu memanjakan dan fokus pada bisnis konglomerasi.
*)Penulis adalah Ketua BANI Bali Nusra, Wakil Ketua Umum Kadinda Prov. Bali Bidang Fiskal Moneter dan Mantan Dirut PT. Bank Sinar Jreeeng (sekarang PT. Bank Mandiri Taspen/Bank Mantap).