banner 468x60

Beban Bunga Utang Yang Kian Mencekik

 Ekonomi
banner 468x60
Beban Bunga Utang Yang Kian Mencekik

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur, batasan maksimal utang pemerintah adalah 60 persen dari produk domestik bruto atau PDB. Pada akhir 2019, total utang pemerintah Rp 4.778 triliun atau 30,17 persen dari PDB per akhir 2019 yang senilai Rp 15.884 triliun.

 

Posisi utang itu masih jauh dibandingkan dengan batas 60 persen seperti diatur dalam undang-undang. Namun, posisi utang telah melewati batas psikologis yang selama ini dijaga rezim pemerintah agar tidak terlewati, yakni 30 persen. Rasio utang terhadap PDB naik dengan cepat dalam lima tahun terakhir, dari 24,68 persen pada akhir 2014 menjadi 30,17 persen pada akhir 2019. Sebelumnya, rasio utang terhadap PDB tak pernah sebesar itu. Pada 2012, misalnya, hanya 22,9 persen.

 

Pada periode pertama, pemerintahan Presiden Joko Widodo memang berutang besar-besaran. Total utang yang dibuat pemerintah pada 2015-2019 mencapai Rp 2.169 triliun. Sebagai perbandingan, pertumbuhan utang selama lima tahun tersebut lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya yang hanya Rp 932 triliun.

 

Sebagian utang digunakan langsung pemerintah untuk membangun infrastruktur, sebagian disalurkan sebagai penyertaan modal negara kepada BUMN. Dengan utang itu, dalam lima tahun, pemerintahan Presiden Joko Widodo membangun antara lain 980 kilometer jalan tol, 3.793 kilometer jalan nasional, 2.778 jalan perbatasan, 330 unit jembatan gantung, 7 pos lintas batas negara, 18 trayek laut, 15 bandara baru, moda raya terpadu dan kereta ringan, 79 infrastruktur olahraga, dan 65 bendungan.

 

Sayangnya, besarnya utang yang ditarik pemerintah belum mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada 2015-2019, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia 5 persen, lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan lima tahun sebelumnya yang rata-rata 6 persen dengan utang jauh lebih sedikit.

 

Hal ini tak lepas dari kondisi yang membuat pemerintahan Presiden Joko Widodo kurang beruntung, karena dalam lima tahun terakhir tak ada lonjakan harga komoditas yang selalu diandalkan Indonesia untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di tengah kemandekan kinerja manufaktur.

 

Memasuki 2020, pandemi Covid-19 menghantam dunia. Tiap negara, termasuk Indonesia, membutuhkan anggaran sangat besar untuk menangani dampak Covid-19 dari sisi kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi. Mau tak mau, pemerintah harus berutang dalam jumlah besar juga untuk memenuhi kebutuhan anggaran itu.

 

Namun, jika terlampau besar, utang akan semakin menumpuk dan rasionya terhadap PDB akan melonjak. Pemerintah akhirnya memutuskan untuk memproyeksikan utang baru Rp 1.006 triliun pada 2020 untuk menutup defisit anggaran yang dilebarkan dan membiayai pemulihan ekonomi. Dengan proyeksi utang Rp 1.006 triliun, posisi utang pemerintah pada akhir 2020 akan menjadi sekitar Rp 5.784,4 triliun atau setara dengan 34,4 persen PDB.

 

Utang yang kian besar sebenarnya akan mengurangi efektivitas belanja negara. Sebab, semakin besar utang, beban bunga utang juga semakin besar. Rasio beban bunga utang terhadap belanja negara dalam lima tahun terakhir meningkat, dari 7,56 persen pada akhir 2014 menjadi 11,93 persen pada akhir 2019 dan diperkirakan menjadi 12,82 persen pada akhir 2020.

 

Tren itu menunjukkan porsi belanja negara yang digunakan untuk membayar bunga utang semakin besar. Sebaliknya, porsi belanja untuk program pembangunan semakin mengecil.

Dari mana dana untuk membayar bunga utang? Tentu saja dari utang juga. Begitu pula pembayaran pokok utang ketika jatuh tempo, pemerintah selalu melakukan refinancing, yakni melunasi utang dengan menerbitkan utang baru.

 

Padahal, tujuan berutang adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, bukan untuk membayar bunga utang. Dalam kondisi ini, pemerintah akan dipaksa berutang lebih besar agar utang baru tak habis untuk membayar bunga utang semata, agar masih ada utang yang dipakai untuk stimulus pembangunan. Jika ini terjadi, pemerintah bakal makin terperangkap dalam belitan utang.

 

Besarnya bunga utang juga tak terlepas dari imbal hasil yang harus dibayar pemerintah. Pada 2018-2019, imbal hasil surat utang RI 10 tahun berkisar 6-8,7 persen. Adapun per 29 April 2020, imbal hasil obligasi negara 10 tahun sebesar 8,21 persen.

 

Imbal hasil itu jauh lebih tinggi ketimbang Malaysia yang sebesar 2,9 persen, Thailand 1,21 persen, Vietnam 2,98 persen, Singapura 0,93 persen, dan Filipina 3,47 persen. Tingginya imbal hasil dipengaruhi inflasi dan risiko perekonomian negara bersangkutan.

 

Pemerintah sudah sangat berhati-hati dalam berutang. Utang ditarik, semata-mata untuk mendorong kemajuan ekonomi. Namun, jangan sampai pemerintah keenakan berutang karena bebannya akan sampai ke cucu cicit. (Sumber : Kompas Cetak, 02/05/2020)

banner 468x60

Author: 

Related Posts

Tinggalkan Balasan