banner 468x60

Dengan 92 Penulis, Buku BUM Desa Sebagai Kekuatan Ekonomi Baru. Kata Pengantar Bersama Dr Sutoro Eko (Guru Desa- Perancang UU Desa 2007-2013- Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”)

 Desa
banner 468x60
Dengan 92 Penulis, Buku BUM Desa Sebagai Kekuatan Ekonomi Baru. Kata Pengantar Bersama Dr Sutoro Eko (Guru Desa- Perancang UU Desa 2007-2013- Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”)

 

BUM Desa: Memandang Ekonomi Dari Sudut Desa

Sutoro Eko

Guru Desa, Perancang UU Desa (2007-2013),

Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

 

“Apakah saudara tahu tentang teori ekonomi, sampai saudara begitu getol bicara BUM Desa?, demikian kata seorang profesor ekonomi kepada saya, seperti layaknya dia sedang menguji skripsi mahasiswanya, pada tahun 2015, di Kalibata, Jakarta.

“Saya tidak tahu teori ekonomi Prof. Tetapi saya tahu bahwa teori-teori ekonomi yang Anda ajarkan telah terbukti gagal ketika dibawa masu ke desa. Kalau ekonomi masuk desa sudah berhasil, mungkin kita berdua tidak berjumpa di ruangan ini”, demikian jawab saya kepada profesor.

“Saudara tidak tahu teori ekonomi, kok bisa mengatakan teori ekonomi telah gagal. Saudara, saya kasih tahu. Bisnis itu harus efisien dan memiliki skala ekonomi yang besar. BUM Desa itu tidak efisien karena harus memakai musyawarah desa. Skala ekonomi desa juga terbatas. BUM Desa itu tidak masuk akal. Lebih baik mengembangkan UMKM dan koperasi daripada BUM Desa”, demikian kuliah profesor yang diberikan kepada saya.

“Pemikiran Prof itu yang saya nilai mengisolasi desa. Isolasi ekonomi-politik terhadap desa sudah berlangsung lama, sejak zaman VOC, 400 tahun silam. Saya tidak meremehkan UMKM dan Koperasi. Tetapi di mata saya, dua institusi ini, tidak memiliki daya tendang kuat terhadap petani, nelayan, peternak, perajin, yang hidup di tanah desa. Saya berpikir tentang BUM Desa bukan untuk melawan atau menyingkirkan UMKM dan Koperasi, melainkan untuk menghadirkan desa agar mampu menjebol isolasi dan mengonsolidasikan aktor, aset, akses, dan arena ekonomi”. Demikian jawab saya kembali.

Debat sengit itu akhirnya dilerai dan dihentikan oleh moderator. Hari-hari sesudahnya, terutama sejak 2016, hiruk-pikuk perayaan BUM Desa semakin seru. Sejumlah BUM Desa yang hadir dan sukses sebelum UU Desa lahir – seperti Panggungharjo, Bleberan, Ponggok, dll – semakin kondang mencuat, sekaligus menjadi pusat teladan terkemuka. Banyak orang dari berbagai penjuru, termasuk para menteri, berduyun-duyun berkunjung ke Ponggok dan Panggungjarjo, untuk menyaksikan cerita sukses BUM Desa. Ada pula pihak yang “numpang sukses” di atas punggung Panggungharjo dan Ponggok.

Sejak 2016, Kalibata memobilisasi pembentukan BUM Desa dan BUM Desa Bersama di seluruh penjuru negeri. Para Bupati, politisi DPRD, pejabat daerah, pegiat desa, akademisi, dan lain-lain  juga menyukai dan memobilisasi pendirian BUM Desa. Ada sebuah keyakinan dari atas dan dari luar, bahwa intervensi diperlukan agar desa melakukan inovasi mendirikan dan mengembangkan BUM Desa, sebab tanpa intervensi, desa hanya berdiam diri. Memanfaatkan “proyek dana desa”, intervensi dan mobilisasi dari atas dan dari luar itu, membuat booming BUM Desa di seluruh penjuru negeri, mencapai lebih dari 50 ribu desa, pada tahun 2021. Bukan hanya booming, BUM Desa juga latah. Setiap hari ada BUM Desa yang lahir,  ada pula yang mangkrak atau mati suri. Akhir tahun 2019, Presiden Joko Widodo berbicara lantang soal BUM Desa mangkrak itu. “Dari 2.188 BUM Desa tidak beroperasi dan 1.670 BUM Desa beroperasi tapi belum memberikan kontribusi pada pendapatan desa. Jadi tolong ini menjadi catatan,” demikian ujar Presiden. Karena itu Presiden menegaskan soal revitalisasi terhadap BUM Desa yang mangkrak serta integrasi-koneksi BUM Desa ke  dalam supplay chain dan maketplace level nasional dan global.

Saya tidak tahu apakah revitalisasi bekerja dan dikerjakan oleh jajaran pemerintah. Faktanya tahun 2020/21, banyak BUM Desa (terutama yang mengedepankan ekonomi kreatif dengan desa wisata) terpukul oleh pandemi. Fakta berikutnya, mulai akhir 2020, Kalibata kian menggenjot target BUM Desa sebagai sebuah keharusan untuk pemulihan ekonomi di tengah pandemi, yang berbuah peningkatan jumlah BUM Desa pada tahun ini. Tugas-beban desa begitu besar. Para punggawa desa tidak mengenal WfH, menangani warga yang terpapar dan terdampak COVID-19, termasuk harus berkontribusi untuk memulihkan ekonomi melalui wadah BUM Desa.

Bagaimana kita memahami dan menyikapi itu semua? Mengapa ada BUM Desa yang sukses, dan mengapa ada banyak yang mangkrak? Apakah BUM Desa bisa hadir sebagai kekuatan ekonomi baru seperti dikumandangkan oleh judul buku ini, atau sekadar proyek membangun istana pasir? Apakah intervensi dan mobilisasi relevan untuk membangun BUM Desa sebagai kekuatan ekonomi baru, atau malah hanya mengawetkan proyek?

Optimis Tetapi Harus Kritis

Sejak 2005, tepatnya kelahiran PP No. 72/2005, saya keluar-masuk kantor Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Kementerian Dalam Negeri, terlibat aktif dalam menggagas dan melahirkan kebijakan Alokasi Dana Desa, perencanaan desa, dan BUM Desa.  Tahun 2007, di tengah penyusunan naskah akademik dan RUU Desa di Direktorat Pemerintahan Desa, saya sempat menoleh kesamping di Direktorat Usaha Ekonomi Masyarakat, terlibat diskusi dengan Prof Maryunani (FE-UB), menyusun Saurat Edaran Pendirian dan Pengembangan BUM Desa. Surat Edaran rupanya berbuah, memperoleh respons banyak kabupaten dengan pendirian BUM Desa, meskipun pendirian ini tidak sepenuhnya menghayati makna di balik Surat Edaran. Pendekatan fasilitasi beruah menjadi pendekatan intervensi dan mobilisasi. Itu kami temukan pada tahun 2010, ketika saya bersama Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) melakukan penelitian BUM Desa di sejumlah kabupaten: Gunungkidul, Lombok Barat, Gowa, Bima, Dompu, Bantaeng. Hingga tahun 2013, kami terus-menerus melakukan pengawasan terhada perkembangan BUM Desa dari daerah ke daerah.

Penelitian itu menunjukkan lebih banyak BUM Desa yang mangkrak ketimbang yang hidup sehat. Sebagai contoh, BUM Desa di Desa Karangrejek dan Bleberan di Gunungkidul, mulai berkembang baik dengan inisiasi pelayanan air bersih maupun wisata (Bleberan), sementara 87 BUM Desa Lembaga Keuangan Mikro dari 88 desa di Lombok Barat tahun 2010, dalam kondisi mangkrak. Kami mengambil sebuah kesimpulan bahwa BUM Desa yang lahir karena fasilitasi dari atas dan dari luar serta emansipasi lokal desa jauh lebih kokoh ketimbang BUM Desa yang hadir karena intervensi dan mobilisasi dari atas.

Pelajaran dari lapangan kami tendang sebagai masukan untuk penyusunan Permendagri tentang BUM Desa, yang kemudian lahir Permendagri No. 39/2010. Saya terlibat aktif dalam melakukan sosialisasi Permendagri itu di hadapan daerah dan desa. Ketika sosialisasi, saya selalu mengatakan tentang intervensi-mobilisasi versus fasilitasi-emansipasi, sembari saya mengingatkan sejarah keruntuhan Badan Usaha Unit Desa yang cepat mati tidak sampai berumur sepuluh tahun pada dekade 1970-an, serta keruntuhan Koperasi Unit Desa (KUD) yang sempat berumur sekitar tiga dekade (1970-an hingga awal 2000-an). Orang selalu melihat intervensi itu baik, sembari selalu menuding kapasitas manajerial dan SDM yang buruk menjadi penyebab runtuhnya organisasi lokal seperti BUUD dan KUD. Waktu dua dekade lebih dari cukup untuk menempa kapasitas manajerial bagi KUD. Dari sejumlah literatur dan ilmu laku saya di lapangan menunjukkan bahwa KUD identik dengan Orde Baru, yang selalu berjalan karena dipangku oleh pemerintah, sehingga ketika pangkuan memudar dan Orde Baru runtuh, KUD juga runtuh. Karena itu saya selalu mengingatkan agar BUM Desa tidak mengulang kegagalan KUD, gara-gara pendekatan proyek, dengan intervensi-mobilisasi dari atas.

Sebaliknya pengalaman Grameen Bank di Bangladesh, bersama Prof M. Yunus, peraih Nobel Perdamaian 2006 itu, bisa menjadi contoh organisasi lokal yang kokoh, mandiri, dan berkelanjutan. Institusi partikelir itu memberi inspirasi kuat bagi tumbuhnya kredit union di Indonesia, seperti Pancur Kasih di Kalimantan Barat, Seia Sekata di Sumatera Utara, Nurani Perempuan di Kalimantan Timur, dan lain-lain. Baik Grameen Bank maupun credit union tentu bukan sekadar bisnis ekonomi semata. Mereka ditopang oleh swadaya, solidaritas, dan edukasi, yang kemudian saya sebut sebagai alas sosial. Di medan gerakan, saya selalu mangatakan bahwa BUM Desa juga butuh alas sosial itu.

Alas sosial menjadi komponen penting bagi “tradisi berdesa” yang saya temukan bersama FPPD pada tahun 2013, sebagai basis kultur dan institusional bagi kehadiran BUM Desa. Saya mengatakan, desa tidak perlu membuat BUM Desa jika belum merajut tradisi berdesa. BUM Desa hanya menjadi proyek ketika tidak dialasi oleh tradisi berdesa. Karena pengalaman ini, maka saya bisa memberi sumbangan dalam merumuskan “BUM Desa sebagai usaha bercirikan desa, yang berbeda dengan koperasi, PT, dan CV” dalam UU Desa.

Tetapi alas sosial dan tradisi berdesa tidak boleh mengisolasi desa bersama BUM Desa, lantaran negara tidak hadir ke dalam ranah itu. Kehadiran negara selalu menjadi masalah. Kalau negara tidak hadir ke desa itu salah, tetapi kalau hadir keliru. Cuci tangan jauh lebih baik ketimbang campur tangan, tetapi yang terbaik adalah turun tangan. Salah kaprah terjadi di sini. Intervensi-mobilisasi jauh lebih menonjol ketimbang fasilitasi, edukasi, proteksi dan emansipasi; yang paralel dengan mengatur lebih menonjol ketimbang mengurus dan melayani desa.

Di tengah perjalanan selama satu dekade, saya mempunyai dua sikap terhadap BUM Desa. Pertama, harapan optimis, bahwa BUM Desa yang bercirikan desa itu, bisa hadir sebagai kekuatan ekonomi gotong royong secara massif. Syarat pertamnya adalah kehadiran negara secara tepat. Ini yang kemudian melahirkan gagasan saya tentang ekonomi gotong royong dengan BUM Desa sebagai titik centrum: korporasi rakyat, konsolidasi desa, proteksi negara, dan kolaborasi swasta.

Kedua, sikap kritis-skeptis, yang saya tujukan kepada BUM Desa yang abal-abal, rapuh, dan mangkrak. Dari titik ini, saya menghadirkan empat tipe BUM Desa, untuk keperluan kritik dan olok-olok, sekaligus memiliki harapan yang positif: (a) BUM Desa Merpati (merapat ke bupati), yakni seperti burung merpati, BUM Desa hanya hadir karena menerima bantuan atau rangsangan uang; (b) BUM Desa Pedati (perintah dari bupati), yang seperti pedati, sangat lamban dan sudah bergerak, kecuali dapat perintah; (c) BUM Desa Melati (menjadi ladang upeti) adalah BUM Desa yang sukses dapat uang banyak tetapi hanya dirampas oleh segelintir elite; dan (d) BUM Desa Sejati (sehat dan jauh dari bupati) yakni BUM Desa yang mandiri, sehat, emansipatoris, yang lahir bukan karena target dan perintah, tetapi karena kehendak dan gerakan lokal.

Nina Mistriani- Semarang

Bukan Bisnis Biasa

Cara pandang arus utama melihat BUM Desa sebagai bisnis, atau memandang BUM Desa dengan rezim bisnis, yang mengandung ekonomi, manajemen, dan hukum. Rezim bisnis memiliki banyak kriteria ketat-rigid, sehingga cenderung melarang desa untuk berbisnis, atau mengatakan bahwa desa tidak memiliki syarat-kriteria secara memadai untuk menjalankan bisnis. Desa hanya bisa bikin wadah BUM Desa, tetapi tidak punya wenang bikin usaha! Sebaliknya, dipandang dari sudut desa, rezim bisnis sama sekali tidak kompatibel dengan kepentingan desa, sama sekali tidak mengkanalisasi kepentingan desa dalam berekonomi.

Relasi kuasa yang timpang itu sudah berlangsung lama. Pemerintah tidak sanggup menjebolnya, kecuali hanya mengatakan bahwa BUM Desa “berbadan hukum”. Di lapangan tidak seperti itu. Ekonomi sudah lama masuk desa, melakukan kapitalisasi dan eksploitasi terhadap tanah, hasil bumi, dan tenaga kerja murah di desa. Ekonomi berhasil membentuk kota, modal, dan negara. Sebaliknya ekonomi pasti akan menghadang dan melakukan isolasi terhadap kepentingan desa yang pengin makmur. Rezim bisnis, dengan begitu, menjadi instrumen ekonomi-politik untuk eksploitasi terhadap desa untuk kepentingan ekonomi, sekaligus melakukan isolasi terhadap kepentingan desa.

Di tengah struktur ekonomi-politik yang timpang, negara melakukan penetrasi ke dalam desa dengan pembangunan. Pembangunan adalah residual, sisa-sisanya, bagi desa. Pembangunan desa yang ditarget dari atas, menempatkan desa sebagai objek, selalu hadir sebagai perencanaan, manajerial, teknis, dan proyek, yang tidak sanggup menembus struktur timpang, juga tidak menciptakan hak bekerja dan berusaha bagi orang desa. Bagaimanapun pembangunan, termasuk proyek pemberdayaan yang “masuk ke dalam desa, melalui desa, tetapi tanpa desa” adalah bentuk kekuasaan teknokrasi untuk mengisolasi kepentingan desa. Karena itu, UU Desa sebenarnya berjuang untuk membalik struktur itu, bahwa pembangunan desa dalah milik desa sebagai subjek. Tetapi pelaksanaan selama tujuh tahun tetap saja “desa baru dikembalikan menjadi desa lama”, dengan pendekatan pembangunan yang membuat desa sebagai target dan objek.

Saya selalu mengatakan bahwa BUM Desa bukan sekadar bisnis, bukan bisnis biasa, yang mengikuti nalar rezim bisnis. “Usaha bercirikan desa” untuk menandai bukan bisnis biasa, yang bermakna bahwa BUM Desa berlandaskan dan bergerak dengan tiga belas azas dalam UU Desa. Jika regulasi BUM Desa peka dan berpihak kepada desa, maka “badan hukum” harus relevan dengan tiga belas azas itu, bukan memaksakan rezim bisnis kepada BUM Desa. BUM Desa justru hendak menjebol dan memotong rezim dan mafia bisnis dengan pendekatan konsolidasi terhadap aktor, aset, akses, dan arena; sesuatu yang tidak lazim, bahkan melampaui (beyond) atas pendekatan konvensional (investasi, modal, manajerial, kepastian hukum, dan lain-lain). Argumen ini bukan berarti BUM Desa harus mengabaikan pendekatan bisnis, tetapi perkara utama yang harus dihadirkan adalah konsolidasi.

BUM Desa bukan keharusan (kewajiban) melainkan kesempatan dan pilihan bagi desa. Banyak orang Sleman bertanya secara kritis, sembari menolak BUM Desa, kepada saya: “Untuk apa BUM Desa, kalau orang desa sudah bekerja dan berusaha?”. Argumen itu benar, dan saya dukung. BUM Desa bukan keharusan, berarti pengatur desa tidak perlu melakukan intervensi-mobilisasi yang mengarahkan, mengarahkan, dan memaksa desa mendirikan BUM Desa untuk dibuat menjadi mangkrak.   

Susanti-Lampung

Penghargaan, Harapan, dan Kritik

Jauh hari, Mas Eko Wiratno[Pendiri Sekolah Manajemen BUM Desa 17 dan Pendiri EWRC Indonesia] dari Klaten, menghubungi saya, menceritakan tentang prakarsa buku ini, dan meminta saya untuk memberi sebuah kata pengantar. Tentu permintaan itu merupakan sebuah kehormatan bagi saya. Tanggal 23 Juli 2021, saya menerima naskah buku ini. Ada tiga kejutan dalam buku ini yang patut memperoleh penghargaan agung. Pertama, frasa “BUM Desa sebagai kekuatan baru ekonomi”, yang dihadirkan sebagai judul buku. Meski tidak ada tulisan yang eksplisit, frasa itu adalah ekspresi posmodernisme sebagai lawan tanding modernisme. Modernisme memandang bahwa Barat, kota, industri, gedung-gedung yang menjulang tinggi, para pebisnis yang parlente, teknologi tinggi, perangkat digital yang canggih, dan lain-lain, adalah kiblat dan tujuan peradaban. Kaum modernis selalu memandang bahwa desa itu jadul, bodoh, malas, kolot, dan tanda-tanda buruk lainnya, sehingga desa harus digempur dengan modernisasi. Modernisasi tentu juga masuk ke desa, dengan membawa pembangunan, revolusi hijau, smart villaga, digital village, dan sebagainya, tetapi tidak berhasil. Keberhasilan modernisasi adalah menghisap hasil bumi dan tenaga kerja desa untuk kepentingan kota, industri, dan modal.

Posmodernisme, yang melawan modernisme, berkayakinan bahwa kekuatan dan peradaban bukan hanya di barat dan kota, tetapi juga di timur dan desa. Kick Andy pernah menyerukan bahwa desa adalah masa depan Indonesia, yang paralel dengan keyakinan: “Jawa adalah masa lalu, Sumatera adalah masa kini, Indonesia Timur adalah masa depan”. Dengan spirit posmodernisme, entitas lokal dan desa, tidak perlu minder dan silau pada barat dan kota, sebab yang lokal selalu global, yang tradisional selalu modern, yang lama selalu baru, dan seterusnya. Desa harus maju tanpa meninggalkan tradisi, merawat tradisi tanpa ketinggalan zaman. Dengan begitu, gelora “BUM Desa sebagai kekuatan baru ekonomi” perlu diletakkan dan dilekatkan dengan spirit posmodernisme.

Kedua, wow, ternyata buku ini setebal lebih dari 800 halaman, ditulis oleh banyak penulis, dengan beragam profesi dan latar belakang, dari berbagai penjuru tanah air. Ternyata UU Desa dan BUM Desa memperoleh perhatian yang luas, sebagai bukti meningkatnya minat para pihak terhadap desa, termasuk oleh para pihak yang dulu tidak tertarik dengan isu desa. Para penulis buku ini tidak hanya tertarik pada “proyek dana desa” (yang sebenarnya melakukan reduksi dan distorsi terhadap UU Desa), tetapi juga tertarik dengan spirit-pendekatan UU Desa. Buku ini adalah mosaik, menghadirkan serpihan-serpihan narasi yang begitu beragam, seperti halnya fakta “seribu desa seribu cerita”. Meski demikian, tetap ada makna dan mutiara yang bisa ditemukan dengan cara abstraksi di tengah serpihan beragam narasi. Salah satu mutiara adalah pelajaran berharga di balik hiruk-pikuk BUM Desa, yang perlu dihadirkan oleh pembaca, dan secara khusus, oleh editor. Editor perlu hadir secara seksama dan kritis menemukan mutiara, makna, benang merah, dan pelajaran berharga dari buku ini, agar frasa “BUM Desa sebagai kekuatan baru ekonomi” bisa dirajut secara berkelanjutan.

Buku ini, terutama abstraksi mutiara yang bisa ditemukan, sungguh membuka ruang dialektika di medan pengetahuan, kebijakan, dan gerakan BUM Desa. Para pencari pengetahuan, termasuk para penulis buku ini, perlu menggelar debat sekaligus menjelaskan mengapa ada BUM Desa yang sukses dan mengapa ada BUM Desa yang mangkrak. Bahkan di antara mereka perlu untuk saling melakukan kritik dan falsifikasi, agar mereka juga tidak terjebak menjadi latah, merayakan project making yang justru memandang BUM Desa seperti pabrik semata, atau malah menciptakan pendangkalan terhadap hakikat BUM Desa. Apakah betul, hidup-mati BUM Desa sangat tergantung pada aspek legalitas hukum dan manajerial ekonomi? Apakah BUM Desa harus dilihat secara tajam dari sisi ekonomi? Apakah mungkin berpikir dan bertanya secara terbalik, yakni memandang ekonomi dari sisi desa? Melalui kata pengantar ini, saya malah mengajak para pihak, termasuk pencari pengetahuan, untuk memandang ekonomi dari sisi desa, sekaligus membuat desa sebagai pendekatan dan kekuatan ekonomi baru, sebagai alternatif atas modal dan kota. Pelajaran yang dihimpun dari medan pengetahuan bisa ditendang ke medan kebijakan dan gerakan, baik untuk melawan rezim bisnis yang pongah, keluar dari rutinitas yang rutin, sekaligus menyuntikkan semangat yang sejati dalam gerakan BUM Desa.

Ketiga, buku mosaik ini memiliki harapan-optimis dan kritik-skeptis. Judul buku menghadirkan harapan-optimis, yang didukung oleh beragam narasi dari banyak penulis, terutama tentang gerakan, geliat, dan cerita sukses BUM Desa, yang bisa menjadi teladan baik. Ada pula penulis yang secara kritis-skeptis menunjukkan BUM Desa yang mangkrak alias mati suri.

Saya menemukan pesan kuat dalam buku ini bahwa kepastian legalitas hukum dan kapasitas manajerial ekonomi merupakan dua variabel utama bagi hidup-mati BUM Desa. Argumen yang menghadirkan dua variabel utama itu memang benar, tetapi tidak sepenuhnya benar. Mengapa?

Pertama, apakah dua variabel itu relevan untuk menjelaskan kesuksesan sejumlah BUM Desa yang sudah lahir sebelum UU Desa? Apakah desa-desa yang sukses itu memiliki kapasitas SDM dan manajerial yang jauh lebih hebat ketimbang desa-desa tetangganya? Dua variabel itu penting, tetapi saya melihat bahwa mereka yang sudah sukses karena sudah melembagakan tiga belas azas sebelum UU Desa hadir. Dengan kata lain, mereka hadir mendahului UU Desa, yang bahkan, memberi inspirasi kuat bagi kehadiran UU Desa. Kedua, dua variabel itu mengemuka seakan-akan bekerja di ruang yang hampa sosial dan ekonomi-politik. Ketiga, keutamaan dua variabel itu justru membenarkan kepongahan rezim bisnis dalam memandang dan mengatur BUM Desa, tanpa melihat kekuatan dan kepentingan desa. Jangan-jangan apa yang disebut “badan hukum” dalam UU Cipta Kerja dan PP No. 11/2021 akan membawa  BUM Desa “meraih satu hak dengan cara harus memenuhi sepuluh kewajiban”. Jika kelak ini yang terjadi, maka struktur regulasi itu membenarkan formasi “negara peraturan” yang jauh dari formasi “negara hukum demokratis”.

Untuk mengisi medan pengetahuan, kebijakan, dan gerakan, maka frasa “usaha bercirikan desa” harus terus-menerus dielaborasi, baik untuk menantang rezim bisnis dan regulasi BUM Desa, maupun membangun strategi, taktik, dan siasat lokal untuk mengatasi kesenjangan antara regulasi dan kepentingan desa. Inilah yang saya sebut memandang ekonomi dari sudut desa. Pendekatan terbalik ini berguna untuk memberi makna, bahkan mewujudkan, harapan “BUM Desa sebagai kekuatan ekonomi baru”, yang dihadirkan sebagai judul buku ini. Matur nuwun.

 

BUKU SETEBAL LEBIH DARI 860 HALAMAN INI BISA DIPESAN KE 081 567 898 354.

banner 468x60

Author: 

Related Posts

Tinggalkan Balasan